Jejak Bisnis Timah di Bangka Belitung, dari Era Kolonial hingga Kini
Beberapa pekan terakhir publik dibuat geram karena kasus korupsi tata niaga timah, yang yang menjerat 16 tersangka sejak Oktober 2023, termasuk sederet public figure, seperti pengusaha timah Bangka Tengah Tamron, crazy rich Pantai Indah Kapuk Helena Lim, dan suami artis Sandra Dewi, Harvey Moeis.
Bagaimana publik tidak geram, korupsi yang berlangsung sejak 2015 hingga 2022 tersebut, ditenggarai merugikan negara sebesar Rp 271 triliun. Kerugian yang ditimbulkan ini, terbagi menjadi kerugian lingkungan ekologis, kerugian ekonomi lingkungan, dan biaya pemulihan lingkungan.
Dengan predikat penghasil timah terbesar kedua di dunia, dengan lebih dari 90% produksi berasal dari Bangka, tak heran komoditas ini menjadi incaran karena mampu mendatangkan keuntungan yang besar. Komoditas ini pula yang membuat Belanda mati-matian menancapkan pengaruhnya di Bangka Belitung, hingga memaksa penguasa setempat memberikan hak monopoli.
Sejarah Bisnis Timah di Bangka Belitung
Pemanfaatan timah di Bangka memang telah dilakukan sejak ratusan tahun lalu. Para ilmuwan meyakini, penambangan timah di wilayah Bangka telah ada sejak abad ke-7 Masehi. Hal ini disimpulkan dari Prasasti Kota Kapur, di muara Sungai Mendu, Bangka Barat, peninggalan Kerajaan Sriwijaya.
Namun, pemanfaatan timah skala besar di wilayah ini baru terjadi mulai akhir abad ke-17 Masehi, ketika Bangka berada di bawah kekuasaan Kesultanan Palembang.
Berdasarkan catatan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), kala itu Kesultanan Palembang mengikat perjanjian dengan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau Kongsi Dagang Hindia Timur. Perjanjian yang dimaksud, pada intinya menyebutkan bahwa Kesultanan Palembang memberikan hak monopoli perdagangan timah di Bangka dan Belitung, serta tidak akan menjalin kerja sama dengan kongsi dagang bangsa lain.
Adapun, kontrak penjualan timah secara eksklusif kepada VOC, baru dilakukan pada 1710. Dalam kontrak tersebut, disebutkan bahwa Kesultanan Palembang harus menyediakan timah sebanyak 30.000 pikul, dalam bentuk hasil peleburan sederhana yang ukurannya sebesar tempurung kelapa.
Untuk mendorong produksi timah, pada 1724 Sultan Mahmud Bahaduruddin I mendatangkan pekerja dari Cina, yang membawa inovasi sistem kolong pada penambangan. Sebelumnya, penambangan timah hanya dilakukan di permukaan saja, sehingga hasil produksinya sedikit. Sejak masa kolonial inilah, eksplorasi penambangan timah mulai dilakukan secara besar-besaran.
Pengambilalihan Bisnis Tambang Timah oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda
Meski terikat oleh kontrak eksklusif dengan VOC, saat itu Kesultanan Palembang masih memiliki kekuasaan penuh dalam pengelolaan tambang-tambang timah di Bangka dan Belitung. VOC hanya sesekali bertindak sebagai pemberi pinjaman.
Peran pemerintah setempat berkurang, bahkan hilang ketika pemerintah kolonial Hindia Belanda mengambil alih bisnis tambang timah di wilayah ini pada 1819, tiga tahun sesudah Hindia Timur, termasuk Bangka dan Belitung, diserahkan dari Inggris kepada Belanda.
Catatan ANRI menunjukkan, pada tahun itu pula berdiri tiga perusahaan pengolahan timah, yakni Singkep Tin Exploitatie Maatschappij, Tin Winning Bedrijf, dan Gemeeenschappelijke Mijnbouw Maatschappij Billiton di wilayah Bangka dan Belitung.
Saat diambil alih oleh pemerintah kolonial inilah, penambangan timah di Bangka dilakukan lebih masif, dengan menggunakan metode open pit menggunakan pompa semprot atau gravel pump. Metode ini, pada dasarnya menyemprotkan air berkecepatan tinggi pada endapan bahan galian agar terlepas.
Eksplorasi dan eksploitas timah di Bangka pada masa pemerintahan kolonial terus dilakukan, meski produksinya berfluktuasi. Pasalnya, kemurnian timah dari Bangka memiliki reputasi tersendiri di Eropa.
Pada dekade 1920-an, bisnis timah semakin rapi dengan memasukkan pengelolaan tambang di bawah pengawasan Departement van Gouvernementsbedrijven. Ini merupakan departemen dengan fungsi seperti Kementerian BUMN saat ini.
Pemerintah kolonial juga memperkenalkan teknologi baru dalam proses peleburan timah, yakni menggunakan oven listrik serta mendirikan laboratorium untuk pengujian kadar timah.
Dalam proses peleburan, pemerintah kolonial melalui perusahaan milik negara menjalin kerja sama dengan beberapa perusahaan swasta. Misalnya, dengan N.V. Nederlandsch Indisch Metallurgische Bedriyven, untuk kegiatan peleburan bijih timah di Bangka dan Belitung.
Meski demikian, dalam perjalanannya permintaan timah internasional mengalami ketidakstabilan, terutama pasca Perang Dunia I. Ditambah lagi di Amerika Serikat (AS) terjadi depresi ekonomi pada 1930.
Hal ini menyebabkan perekonomian di Hindia Belanda terpuruk. Ketiadaan modal membuat bisnis timah seolah mati suri, karena produksi timah saat itu sudah mulai memakai teknologi baru yang memerlukan banyak modal.
Perang Dunia II yang diiringi dengan kedatangan Jepang makin membuat suram bisnis timah di Hindia Belanda. Saat itu, pertambangan timah diambil alih oleh Mitsubishi Kabushiki Kaisha, namun Jepang tak serius menggarap bisnis timah, sehingga produksinya sangat sedikit.
Apalagi di Bangka dan Belitung muncul gerakan anti-Jepang, sehingga banyak terjadi penghancuran aset-aset perusahaan timah. Rusaknya peralatan atau mesin-mesin tambang, dan tidak adanya suku cadang, membuat produksi kian sulit.
Nasionalisasi: Pertambangan Timah Dikuasai Sepenuhnya oleh Republik Indonesia
Pasca memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, pertambangan timah sejatinya merupakan salah satu fokus pemerintah Indonesia yang baru berdiri.
Namun, gerak pemerintah kala itu terhadang kembalinya Belanda yang membonceng tentara sekutu. Belanda yang ingin kembali menguasai penambangan timah, mengaktifkan perusahaan negara kolonial Hindia Belanda, yakni Tin Winning Bedrijf, untuk kembali mengeksploitasi timah di Bangka.
Meski demikian, upaya tersebut tidak berhasil, karena perang terjadi dimana-mana. Dari Muntok sampai Pangkal Pinang, bergejolak dalam kronik perang revolusi mempertahankan kemerdekaan. Belanda pun akhirnya menyerah menguasai Indonesia, dan penambangan timah kemudian diserahkan ke pemerintah Indonesia pada 1953.
Pada periode 1952-1958, tiga perusahaan pertambangan timah peninggalan Hindia Belanda dinasionalisasi menjadi tiga perusahaan negara. Tin Winning Bedrijft menjadi PN Tambang Timah Bangka, Gemeenschaappelijke Mijnbouw Maatschaappij Billiton menjadi PN Tambang Timah Belitung, dan Singkep TIN Exploitatie Maatschappij menjadi PN Tambang Timah Singkep.
Untuk memperkuat pengawasan dan mengkoordinasikan kerja tiga PN tersebut, pemerintah membentuk Badan Pimpinan Umum atau BPU Timah. Pembentukannya dilakukan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 87 tahun 1961, yang disahkan pada 17 April 1961.
Pada 1968 BPU Timah dan tiga perusahaan negara di bidang pertambangan timah, serta Projek Peleburan Timah Muntok atau PELTIM dilebur menjadi satu perusahaan baru, bernama PN Tambang Timah.
Dasar hukum peleburannya, adalah Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1968 tentang Pendirian Perusahaaan Negara Tambang Timah, yang disahkan pada 5 Juli 1968. Peleburan dilaksanakan dalam rangka mempertegas struktur dan prosedur kerja, memperlancar dan meningkatkan produksi.
Tugas dan fungsi perusahaan baru ini, meliputi bidang eksplorasi, eksploitasi, pengolahan, peleburan, pemurnian, dan pemasaran bahan-bahan galian tambang timah. PN Tambang Timah dipimpin dan dikendalikan oleh direksi yang terdiri dari seorang Direktur Utama, yang dibantu oleh beberapa orang direktur.
PN Tambang Timah kemudian bertransformasi menjadi perseroan terbatas atau PT melalui Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1976 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Negara Tambang Timah. Beleid ini disahkan pada 24 Januari 1976. Sejak saat itu, berdirilah PT Timah (Persero) yang kemudian melepas saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 1995 dan menjadi PT Timah Tbk.
PT Timah Tbk yang merupakan perusahaan tambang timah terbesar di Indonesia, menghasilkan mayoritas produksi timah Indonesia. Pada 2019 misalnya, lebih dari 95% timah Indonesia dihasilkan oleh perusahaan ini.
Dalam kancah global, PT Timah Tbk merupakan satu dari tiga perusahaan produsen timah dunia pada kurun waktu 2013-2019. Bahkan, pada 2019, dengan total produksi mencapai 76.400 ton, perusahaan menjadi pemasok timah terbesar dunia. Dua perusahaan utama dunia lainnya, adalah Unnan Tin dari Cina dan Malaysia Smelting Corp.
PT Timah Tbk memiliki hak penambangan timah seluas 522.460 hektar dengan 114 kuasa pertambangan atau KP. Tambang timah tersebut, termasuk tambang di darat (onshore), maupun di laut (offshore).
Masuk Milenia Ketiga, Menjamurnya Pertambangan Ilegal
Selama masa pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, masyarakat tidak bisa menambang sembarangan. Sebab, semua hal yang berkaitan dengan penambangan timah di Bangka dikuasai penuh oleh PT Timah Tbk. Namun, semuanya berubah di masa Reformasi.
Memang, dua tahun pertama sejak Presideo Soeharto mengundurkan diri tidak ada perubahan yang berarti pada bisnis timah di Bangka dan Belitung. Namun, memasuki milenia ketiga atau mulai 2000, banyak tambang timah muncul, karena siapapun dapat menambang dengan bebas. Sehingga, muncul istilah tambang inkonvensional, alias tambang timah yang tidak dikelola negara.
Pada dekade 2000-an, kebun-kebun yang sebelumnya merupakan lahan pertanian dan perkebunan berganti fungsi menjadi pertambangan timah. Parahnya, banyak tambang inkonvensional tidak mengindahkan aturat ketat yang dikeluarkan oleh PT Timah Tbk terkait limbah pembuangan timah dan reklamasi.
Membludaknya aktivitas penambangan timah oleh masyarakat, tidak diiringi dengan kesadaran pembuatan fasilitas pengolahan limbah. Akibatnya, limbah timah dibuang ke sungai-sungai, dan lahan-lahan bekas tambang yang sudah tidak berproduksi lagi pun dibiarkan begitu saja. Bahkan, lahan eks tambang PT Timah Tbk yang sudah direklamasi pun, dibuka kembali oleh para penambang illegal.
Keberadaan tambang ilegal inilah yang kemudian menjadi lahan korupsi, seperti yang terjadi dalam kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah, yang baru-baru ini menggegerkan publik.
Dari pemeriksaan Kejaksaan Agung, terungkap adanya jalinan rumit kasus pemufakatan jahat lewat modus pengakomodasian tambang ilegal di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk. Dari total 170.363 hektare luas lahan yang berada di bawah naungan perusahaan, tercatat hanya 88.900 hektare yang memiliki IUP, sisanya ilegal.
Staf Khusus III Menteri Badan Usaha Milik Negara Arya Sinulingga mengatakan, Kementerian BUMN sebelumnya telah berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung selama beberapa bulan terakhir, untuk melakukan penyelidikan terhadap pencurian maupun pengambilan timah yang berada di IUP PT Timah Tbk.
Ia menjelaskan, IUP PT Timah Tbk merupakan yang terbesar di Bangka Belitung. Namun, banyak perusahaan yang wilayah tambangnya lebih kecil tetapi memiliki hasil produksi timah yang lebih besar.
Sebelumnya, Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Kuntadi mengatakan, Harvey Moeis ditetapkan sebagai tersangka karena berperan sebagai perpanjangan tangan untuk mengakomodasi kegiatan penambangan timah ilegal.
Kuntadi menjelaskan, Harvey selaku perwakilan PT Refined Bangka Tin, sekitar 2018-2019, menghubungi Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, selaku Direktur Utama PT Timah Tbk, yang menjabat selama 2016 hingga 2021. Riza sendiri telah terlebih dahulu ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung.
Komunikasi Harvey dan Riza dimaksudkan untuk mengakomodasi kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah Tbk untuk mendapat keuntungan. Keduanya akhirnya sepakat menjalin kerja sama dalam kegiatan pertambangan ilegal, yang dibungkus dengan sewa-menyewa peralatan pemrosesan timah.