Rancangan Perpres EBT Bertabur Insentif, Mengapa Pengusaha Belum Puas?
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM telah selesai menyusun Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pembelian Tenaga Listrik Energi Baru Terbarukan oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Pemerintah menjanjikan banyak insentif dalam rancangan beleid itu untuk menarik investasi di EBT.
Meski begitu, pelaku usaha tak sepenuhnya puas dengan rancangan aturan tersebut. Asosiasi Daerah Penghasil Panas Bumi Indonesia (ADPPI) bahkan mengirimkan surat kepada Menteri ESDM Arifin Tasrif terkait rancangan perpres itu.
Dalam suratnya, ADPPI meminta pemerintah tak lagi mengatur tata kelola panas bumi. Menurut Ketua Umum ADPPI Hasauddin, tata kelola pengusahaan panas bumi telah diatur dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 2017.
Oleh karena itu, tidak ada kekosongan hukum yang mengharuskan tata kelolanya diatur melalui Perpres. Pemerintah pun hanya perlu membuat satu pasal yang menyatakan panas bumi diatur melalui peraturan tersendiri sesuai UU Panas Bumi. Hal itu untuk sinkronisasi antara Perpres dengan aturan di atasnya.
Jika tidak, ADPPI menilai akan terjadi tumpang tindih pengaturan dan pertentangan dalam tata kelola panas bumi. Hal itu bakal menimbulkan ketidakpastian pengusahaan panas bumi dan persoalan hukum.
“Karena sudah ada UU dan PP, maka tarif panas bumi hanya perlu dibuat Permen, tidak perlu ada Perpres EBT,” ujar Hasanuddin kepada Katadata.co.id, Senin (10/8).
Apalagi dalam rancangan perpres itu, harga beli listrik oleh PLN diatur mengenai harga pembelian tenaga listrik dan penggantian biaya eksplorasi dan infrastruktur panas bumi. Padahal dalam PP nomor 7 Tahun 2017 tentang panas bumi telah diatur mengenai harga energi panas bumi.
Dalam PP Nomor 17 Tahun 2017, harga panas bumi paling sedikit mempertimbangkan biaya produksi uap dan/atau listrik, serta daya tarik investasi. Berdasarkan ketentuan itu, penentuan tarif beli listrik panas bumi dilaksanakan melalui mekanisme lelang wilayah kerja dan penugasan panas bumi dengan mempertimbangkan harga keekonomian.
Di sisi lain, Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia Prijandaru Effendi mengatakan pihaknya telah mengusulkan skema feed in tariff untuk proyek panas bumi sejak tahun lalu kepada pemerintah. Dalam usulan API, feed in tariff diatur berdasarkan besaran kapasitas produksi uap panas bumi.
Dengan begitu, pengembang bisa mengetahui juga tarif yang akan didapat jika hasil eksplorasi tidak sesuai target. Pengembang pun sudah bisa memperhitungkan keekonomian proyek sejak mengeluarkan investasi.
Namun, pemerintah tidak menerima usulan API dan berencana menetapkan skema Harga Penawaran Tertinggi (HPT) untuk harga beli listrik dari proyek panas bumi. Padahal, menurut dia, pengembangan panas bumi tergantung pada tarif pembelian listrik dan kepastian regulasi. Apalagi, ada risiko dan biaya yang harus ditangguh oleh pengembang.
“Perpres tidak akan mengakomodir skema feed in tariff untuk panas bumi. Usulan Kementerian ESDM itu staging Harga Patokan Tertinggi,” ujar Prijandaru kepada Katadata.co.id pada Kamis (6/8).
Berdasarkan rancangan Perpres per 21 Juli 2020 yang diterima Katadata.co.id, Kementerian ESDM mengusulkan empat skema harga pembelian tenaga listrik, yaitu harga feed in tariff, harga penawaran terendah, harga patokan tertinggi, atau harga kesepakatan.
Skema harga patokan tertinggi ditujukan untuk PLTP atau pembelian tenaga uap. Skema tersebut berlaku dengan ketentuan sebagai harga dasar, eskalasi dalam perjanjian jual beli listrik atau perjanjian jual beli uap, dan harus persetujuan harga dari Menteri.
Sedangkan feed in tariff dilaksanakan dengan ketentuan tanpa negosiasi dan tanpa eskalasi selama jangka waktu kontrak, dan berlaku sebagai persetujuan harga dari Menteri. Skema feed in tariff ini berlaku untuk PLTA kapasitas pembangkit sampai dengan 20 megawatt (MW), PLTS atau PLTB dengan kapasitas sampai dengan 20 MW.
Skema itu berlaku juga untuk penambahan kapasitas dari PLTS atau PLTB untuk kapasitas sampai dengan 20 MW, PLTBm atau PLTBg untuk kapasitas (ekspansi) pembangkit sampai dengan 10 MW, penambahan kapasitas (ekspansi) dari PLTBm atau PLTBg untuk kapasitas pembangkit sampai dengan 10 MW, dan kelebihan tenaga listrik dari PLTBm atau PLTBg untuk kapasitas terkontrak sampai dengan 10 MW.
Untuk skema harga pembelian tenaga listrik dengan harga penawaran terendah berlaku ketentuan tanpa negosiasi dan tanpa eskalasi selama jangka waktu kontrak, serta perlu persetujuan harga dari Menteri. Skema ini ditujukan untuk proyek PLTS atau PLTB dengan kapasitas lebih dari 20 MW, PLTBm atau PLTBg untuk kapasitas 10 MW.
Harga pembelian tenaga listrik dengan harga kesepakatan dilakukan melalui negosiasi dan perlu persetujuan harga dari menteri. Skema tersebut berlaku untuk PLTA berkapasitas lebih dari 20 MW, PLTA peacker, kelebihan tenaga listrik PLTA untuk semua kapasitas terkontrak, penambahan kapasitas dari PLTS atau PLTB untuk kapasitas lebih dari 20 MW.
Selanjutnya, penambahan kapasitas dari PLTBm atau PLTBg untuk kapasitas pembangkit lebih dari 10 MW berdasarkan batas harga pasokan tertinggi, kelebihan tenaga listrik dari PLTBm atau PLTBg untuk kapasitas terkontrak lebih dari 10 MW, dan PLT BBN atau PLT energi laut.
Pemberian Insentif Panas Bumi Tak Punya Dasar Hukum
Selain itu, ADPPI juga mempersoalkan insentif pemerintah untuk sektor panas bumi. Dalam Pasal 29 RPrepres EBT menyatakan bahwa pemerintah akan melaksanakan kegiatan eksplorasi panas bumi sesuai ketentuan perundang-undangan di bidang panas bumi.
Selain itu, mengganti biaya eksplorasi dan infrastruktur panas bumi kepada pemegang Izin Panas Bumi (IPB) pada WKP tidak dilakukan pemerintah, pemegang IPB yang merupakan pelaksana penugasan survey pendahuluan dan eksplorasi, dan pemegang kuasa pengusahaan sumber daya panas bumi yang melakukan eksplorasi pada WKP.
Kemudian, pemegang kontrak operasi bersama pengusahaan sumber daya panas bumi yang melakukan eksplorasi pada WKP, dan pemegang izin pengusahaan sumber daya panas bumi yang melakukan eksplorasi pada WKP.
Dalam hal kegiatan eksplorasi panas bumi yang dilakukan oleh pemerintah, Menteri menetapkan kompensasi harga data dan informasi panas bumi sebesar Rp 0 (nol rupiah) yang harus dibayarkan oleh IPB.
ADPPI menyatakan penggantian biaya eksplorasi dan infrastruktur panas bumi dalam Rerpres EBT bertentangan dengan UU Nomor 21 Tahun 2014 dan PP Nomor 7 Tahun 2017. Dengan begitu, penggantian biaya eksplorasi dan infrastruktur tidak memiliki dasar hukum, serta berpotensi menimbulkan persoalan hukum terkait pengeluaran anggaran negara.
Lebih lanjut, Hasanuddin mengatakan jika tetap memberikan insentif itu, pemerintah harus menyiapkan anggaran penggantian yang cukup besar. Dia memproyeksi pemerintah harus memiliki dana sekitar Rp 149 triliun untuk mengganti biaya eksplorasi pelaku usaha sebesar 2.130,7 MW (dengan asumsi US$ 5 juta per MW).
Hasanuddin pun menyebut persoalan iklim investasi sektor panas bumi tidak terletak dari kurangnya insentif pemerintah, melainkan masalah regulasi yang berubah-ubah.“Regulasi yang mulanya dapat memberikan kepastian pada dunia usaha, kerena sering berubah-ubah, telah menjadi salah satu faktor penghambat, dan sudah masuk pada kategori risiko regulasi (regulation risk), ujar dia.
Di sisi lain, Ketua Masyarakat Energi Baru Terbarukan Indonesia atau METI Surya Darma justru setuju dengan rancangan perpres itu. Pasalnya, regulasi terkait harga listrik EBT yang tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM nomor 50 tahun 2017 sudah sejak 2017 diharapkan dievaluasi ulang oleh pemerintah. Pelaku usaha menilai Permen Nomor 50 Tahun 2017 tidak memberikan daya tarik investasi bagi EBT.
Selain itu, penyusunan perpres EBT melibatkan pemangku kepentingan sebelum diterbitkan. Sehingga harga yang ditawarkan bisa mencapai keekonomian proyek EBT.
"Pembahasan rancangan perpres itu melibatkan METI dan stakeholders lainnya sejak penyusunan draf. Kami berharap agar Perpres itu dapat segera diterbitkan untuk memberikan kepastian usaha dan daya tarik dari sisi keekonomian harga EBT," ujar Surya.