Jababeka Terancam Gagal Bayar Utang Di Tengah Kinerja Keuangan Positif

Happy Fajrian
9 Juli 2019, 15:06
jababeka default, jababeka gagal bayar utang,
ANTARA FOTO/AKBAR NUGROHO GUMAY
Suasana aktivitas Pusat Logistik Berikat (PLB) Cikarang Dry Port yang dikelola oleh PT Jababeka Tbk.

PT Kawasan Industri Jababeka Tbk berisiko default atau tidak dapat memenuhi kewajibannya atas surat utang (notes) yang diterbitkan oleh entitas anaknya, Jababeka International BV. Surat utang tersebut memiliki nilai pokok sebesar US$ 300 juta atau setara Rp 4,23 triliun (kurs Rp 14.100/dolar AS).

Dalam keterbukaan informasi yang disampaikan kepada Bursa Efek Indonesia (BEI), risiko default tersebut muncul setelah adanya perubahan susunan direksi dan anggota komisaris yang mendapatkan persetujuan rapat umum pemegang saham tahunan (RUPST) pada 26 Juni 2019 lalu.

Direktur Utama Jababeka Budianto Liman mengatakan, risiko default terjadi bukan karena kinerja keuangan. "Perusahaan ini jadi korban dari acting in concert, bukan karena kinerjanya. Kalau kinerja berbeda," kata Budianto di Jakarta, Senin (8/7).

Pergantian direksi dan komisaris itu merupakan usulan dari PT Imakotama Investindo dan Islamic Development Bank yang masing-masing memiliki saham perusahaan sebesar 6,39% dan 10,84%. Dalam RUPST itu, sebanyak 52,12% suara mendukung pergantian pengurus perusahaan, yakni Sugiharto sebagai direktur utama dan Aries Liman sebagai komisaris.

(Baca: Jababeka Terancam Gagal Bayar Utang, Harga Sahamnya Anjlok 12%)

Budianto menjelaskan acting in concert  terjadi karena proses perubahan susunan direksi dan komisaris tidak melalui tahapan evaluasi dari Komite Nominasi dan Remunerasi (KNR) yang dijalankan dewan komisaris perusahaan. "Penyampaian usulan jabatan direktur yang divoting saat rapat kurang lazim karena tugas dan fungsi KNR tidak berjalan dan sebagian besar suara yang diberikan saat RUPST ada di bawah kendali Imakotama dan afiliasinya," jelasnya.

Akibat dari pergantian pengurus tersebut, Jababeka harus melakukan pembelian kembali (buyback) surat utang dengan harga 101% dari nilai pokok, belum termasuk kewajiban bunga atau lebih dari Rp 4,27 triliun.

Surat utang itu diterbitkan pada Oktober 2016 dengan nilai pokok US$ 189,15 juta, dan pada November 2017 dengan nilai pokok US$ 110,15 juta, dengan suku bunga 6,5% yang dibayarkan setiap enam bulan atau per semester.

(Baca: Lippo Cikarang Targetkan Penjualan Rp 1 Triliun Tahun Ini

Kinerja Jababeka 2018 dan Triwulan I 2019 Masih Positif

Jika menilik laporan keuangan Jababeka dalam beberapa tahun terakhir, kinerja keuangan perusahaan yang mengembangkan kawasan industri khusus (KIK) ini tidak jelek. Pada 2017 perusahaan masih membukukan laba bersih sebesar Rp 150 miliar walau setahun kemudian turun 55,3% menjadi hanya Rp 67 miliar.

Sedangkan pada kuartal pertama tahun ini perusahaan telah membukukan laba bersih sebesar Rp 74 miliar atau melonjak 362,5% dibanding periode yang sama 2018 yang hanya mencapai Rp 16 miliar. Pertumbuhan laba bersih ini ditopang oleh naiknya pendapatan bersih sebesar 18,7% dari Rp 493 miliar pada triwulan I-2018 menjadi Rp 585 miliar.

Sumber utama pendapatan Jababeka berasal dari bisnis infrastruktur yakni jasa penyediaan air bersih, pengolahan air limbah, pengelolaan lingkungan, penjualan energi listrik dan dry port yang berkontribusi 68% terhadap pendapatan operasional.

Bisnis real estate , dari penjualan tanah industri, residensial, dan komersial serta sewa properti, berkontribusi 29% terhadap pendapatan. Sisanya, perusahaan meraih pendapatan dari bisnis leisures and hospitality, yakni dari lapangan golf, vila dan hotel.

(Baca: Bursa Kantongi 15 Perusahaan yang Akan IPO, Net TV Keluar dari Daftar)

Meski kinerja keuangan pada tiga bulan pertama tahun ini positif, kas dan setara kas yang dimiliki perusahaan hanya mencapai Rp 873,89 miliar atau turun Rp 4,98 miliar dibandingkan periode yang sama 2018.

Dengan kondisi itu, kas perusahaan tidak cukup untuk melakukan buyback surat utang yang mencapai lebih dari Rp 4 triliun. Walaupun perusahaan memiliki total aset lancar mencapai Rp 8,37 triliun per Maret 2019 yang sebesar Rp 4,78 triliun dalam bentuk tanah untuk pengembangan, dan persediaan Rp 1,36 triliun.

Saham Anjlok dan Disuspen Bursa

Akibat adanya risiko default ini, Bursa Efek Indonesia (BEI) pun menghentikan sementara perdagangan saham perusahaan yang berkode emiten KIJA ini mulai perdagangan sesi II Senin (8/7). "Saat ini bursa sedang dalam proses penelaahan lebih lanjut kepada perseroan," tulis pengumuman BEI kemarin.

Harga saham KIJA pada Senin kemarin pun anjlok 4,4% dari Rp 318 pada penutupan akhir pekan kemarin menjadi Rp 304 per saham. Bahkan, harga saham KIJA kemarin sempat anjlok hingga 11,95% ke level Rp 280 per saham.

(Baca: Aturan Sudah Uzur, BEI Dorong Revisi UU Pasar Modal Segera Selesai)

BEI menyatakan pihaknya akan bertemu dengan manajemen Jababeka hari ini untuk melakukan dengar pendapat terkait risiko default perusahaan. "Hari ini saya ada hearing dengan Jababeka. Jadi kemarin kita sudah membaca informasi, kemudian tindak lanjut permintaaan penjelasan," kata Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...