Hemat Rp 3 Triliun, Garuda Hentikan Kontrak 12 Pesawat Bombardier

Image title
10 Februari 2021, 15:38
Garuda Indonesia, sewa pesawat, kerugian Garuda, Bombardier
ANTARA FOTO/Septianda Perdana
Petugas melayani pelanggan di kantor penjualan (sales office) Garuda Indonesia di Medan, Sumatera Utara, Kamis (23/1/2020).

PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk rencana menghentikan kontrak sewa 12 pesawat Bombardier CRJ 1000 NextGen yang seharusnya berakhir pada 2027 mendatang. Garuda menilai keputusan ini mampu menyelamatkan maskapai milik pemerintah dari kerugian senilai US$ 220 juta atau setara Rp 3 triliun (kurs: Rp 14.000).

Direktur Utama Garuda Irfan Setiaputra mengatakan, sejak mengoperasikan pesawat yang disewa dari perusahaan lessor asal Denmark Nordic Aviation Capital (NAC) pada 2012 hingga 2015, Garuda setiap tahun mengalami kerugian. Nilainya kerugian operasionalnya lebih dari US$ 30 juta per tahun.

"Tidak dapat dipungkiri bahwa selama tujuh tahun kami mengoperasikan ini, di setiap tahun secara rata-rata kami mengalami kerugian penggunaan pesawat CRJ lebih dari US$ 30 juta per tahun," kata Irfan dalam konferensi pers, Rabu (10/2).

Selain mengalami kerugian secara operasional, Garuda juga harus menanggung biaya sewa pesawat tersebut setiap tahunnya senilai US$ 27 juta. Dari angka-angka tersebut, Irfan menghitung, jika Garuda melakukan terminasi sejak 1 Februari 2021 hingga sampai akhir masa kontrak pada 2027, maka ada penghematan senilai US$ 220 juta.

"Ini sebuah upaya kami untuk menghilangkan atau mengurangi kerugian dari penggunaan pesawat ini di Garuda," kata Irfan.

Ketika membuat kontrak, Direktur Utama Garuda yang saat itu dijabat Emirsyah Satar menilai Bombardier memiliki keunggulan seperti penghematan bahan bakar yang luar biasa dan kenyamanan penumpang yang sangat baik.

Irfan mengatakan, operasional pesawat rintis ini tidak sesuai dengan kebutuhan di pasar Indonesia. Dari tahun ke tahun, Garuda mengalami kerugian dengan menggunakan pesawat ini, ditambah dengan kondisi Covid-19 yang memaksa Garuda menghentikan kontrak sewa ini.

Namun, upaya melakukan negosiasi pengakhiran sewa lebih dini tersebut, mendapat rintangan dari NAC. Dalam kontrak leasing dengan NAC, bila Garuda memutuskan menghentikan leasing di tengah waktu, maka maskapai harus membayar seluruh sisa masa kontrak sesuai dengan kontrak bulanannya.

Proses negosiasi dengan NAC berkaitan dengan pembayaran sisa masa kontrak tersebut agar mendapat harga yang jauh lebih rendah dari kontrak. "Harga itu yang tidak ketemu dan permintaan mereka (NAC) menurut kami tidak masuk akal karena bukannya turun dari negosiasi malah naik setiap negosiasi," kata Irfan.

Dikutip dari aerotime.aero, kesepakatan itu dengan harga jual sekitar US$ 1,32 miliar. Garuda menerima pengiriman jet regional pertama buatan Kanada pada Oktober 2012. Bombardier mengirimkan CRJ1000 terakhir ke maskapai pada Desember 2015.

Karena tidak mendapatkan respons positif dari NAC, Garuda memutuskan untuk menghentikan penggunaan 12 pesawat CRJ 1000 tersebut sejak 1 Februari 2021 secara sepihak. Status pesawat saat ini ada di bandara Cengkareng dalam status grounded.

Irfan menyadari, penghentian secara sepihak ini bakal menciptakan konsekuensi. Namun, ia memastikan, manajemen Garuda secara profesional siap menangani konsekuensi tersebut.

Kasus Suap dalam Sewa Bombardier

Menteri BUMN Erick Thohir mendukung rencana Garuda menghentikan kontrak sewa 12 Bombardier. Erick menyayangkan sikap NAC yang mengabaikan upaya negosiasi dari Garuda. "Negosiasi kami lakukan tapi negosiasi dicuekin atau hanya bertepuk sebelah tangan. Kami bisa tepuk tangan sendiri, kami ambil posisi," kata Erick.

Ada dua alasan Kementerian BUMN untuk mendukung negosiasi. Pertama, terkait dengan kondisi darurat (force majeure) Covid-19 yang membuat sektor aviasi menjadi lesu sejak tahun lalu. Dengan menghentikan sewa, maka Garuda bisa mencapai efisiensi.

Dari data yang dimiliki Kementerian BUMN, Garuda menjadi salah satu maskapai yang memiliki beban biaya leasing paling tinggi di dunia. Biaya leasing mencapai 27% dari total beban biaya yang harus ditanggung oleh maskapai tersebut.

Kedua, kasus hukum yang tengah diselidiki terkait sewa pesawat CRJ 1000 tersebut. Kasus ini tengah ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan adanya investigasi dari lembaga pemberantas korupsi Inggris, Serious Fraud Office (SFO).

"Ada indikasi pidana suap dari pihak pabrikan kepada oknum pimpinan Garuda saat proses pengadaan pesawat tahun 2011," kata Erick Thohir.

Selain bernegosiasi dengan NAC, Garuda juga melakukan negosiasi pengadaan enam pesawat dengan jenis sama menggunakan skema financial lease. Negosiasi itu dilakukan dengan penyedia financial lease Export Development Canada (EDC), dengan masa sewa pesawat itu sampai 2024.

Terkait dengan negosiasi enam pesawat tersebut, Irfan mengatakan Garuda telah menyampaikan proposal untuk menyelesaikan sisa pembayaran. Meski begitu, manajemen Garuda tengah menunggu respons balik dari pihak EDC.

Rencana pengembalian pesawat CRJ 1000 tersebut sebenarnya sudah terdengar sejak beberapa tahun lalu. Seorang eksekutif Garuda Indonesia yang enggan disebutkan namanya, kepada Smart Aviation Asia-Pacific menyebut, pesawat tersebut tidak sesuai dengan landasan pacu wilayah Asia Tenggara.

Bombardier CRJ1000 tersebut membutuhkan landasan pacu sepanjang 2.000 meter, hal ini yang membuat Garuda Indonesia terhambat untuk berekspansi ke kawasan Indonesia timur.

Reporter: Ihya Ulum Aldin
Editor: Yuliawati

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...