IHSG Diproyeksi Menguat, Tiga Saham Ini Bisa Bawa Cuan di Pekan Depan
Untuk pekan depan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diproyeksikan kembali mengalami penguatan terbatas. Hal tersebut didorong oleh beberapa data ekonomi domestik yang menggambarkan bahwa fundamental ekonomi nasional masih tumbuh solid.
Diantaranya adalah PMI Manufaktur Indonesia yang masih tercatat dalam level ekspansif 52,7. Akselerasi produksi ditopang oleh solidnya permintaan dalam negeri di tengah menurunnya kinerja ekspor akibat potensi perlambatan ekonomi global.
Indeks Harga Konsumen (IHK) pada periode April 2023 juga terjaga pada level 0,33% secara bulanan atau 4,33% secara tahunan dengan inflasi inti di level 2,83% secara tahunan. Inflasi masih berada dalam kisaran target Bank Indonesia yakni dalam rentang 3% plus minus 1%.
Selain itu, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia periode kuartal I 2023 tercatat tumbuh 5,03% secara tahunan mencapai sebesar Rp 5.071,7 triliun, dampak dari konsumsi masyarakat yang cukup tinggi.
Financial Expert Ajaib Sekuritas Chisty Maryani mengatakan, secara teknikal, pergerakan IHSG secara jangka pendek breakdown support pada level 6.800. Indikator stochastic terpantau turun, merupakan sinyal bearish continuation. Namun masih tertahan di atas support 6.730.
“IHSG untuk pekan depan diproyeksikan bergerak menguat terbatas di level resistance terdekat, yakni pada level psikologis 6.800 untuk kemudian resistance selanjutnya pada level 6.827,” katanya dalam risetnya dikutip Minggu (7/5).
Berikut rekomendasi saham yang dapat diperhatikan menggunakan analisa teknikal untuk perdagangan pekan depan:
- (Buy on Weakness) PT AKR Corporindo Tbk (AKRA) di area Rp 1.505 dengan target harga pada resistance di level Rp 1.570. Serta pertimbangkan cut loss apabila break support di level harga Rp 1.495.
- (Buy) PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) di area Rp 5.225 dengan target harga pada resistance di level Rp 5.300. Serta pertimbangkan cut loss apabila break support di level harga Rp 4.990.
- (Buy) PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) di area Rp 8.950- Rp 9.000 dengan target harga pada resistance di level Rp 9.200. Serta pertimbangkan cut loss apabila break support pada level harga Rp 8.700.
Chisty memaparkan, pergerakan IHSG sepanjang pekan ini, 2–5 Mei 2023 cukup tertekan. Di mana IHSG mengalami koreksi 1,85% dalam satu pekan terakhir dan ditutup di level 6.787.
Tekanan yang terjadi pada IHSG diantaranya adalah berasal dari katalis global diantaranya adalah hasil FOMC The Fed yang memutuskan untuk kembali menaikan suku bunga sebesar 25 bps di level 5%-5,25%. Hal tersebut dilakukan The Fed sebagai upaya untuk meredamkan tingkat inflasi yang masih jauh di atas target The Fed yakni 2%.
“Keputusan The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan pada FOMC kemarin telah di antisipasi oleh pelaku pasar sebelumnya. Namun hal tersebut mendorong kekhawatiran global akan berlanjutnya krisis likuiditas yang terjadi di sektor perbankan Amerika Serikat. Apalagi beberapa perbankan Amerika Serikat mengklaim memiliki rencana untuk melakukan penjualan kepemilikan asetnya,” kata Chisty.
Selain itu, kekhawatiran di Amerika Serikat juga perihal adanya potensi kegagalan membayar utang yang tercatat sudah melambung hingga US$ 3,46 triliun pada Juni 2023. Kegagalan tersebut terjadi karena penerimaan pajak sejauh ini lebih rendah dibandingkan proyeksinya.
Kekhawatiran lainnya pada pasar global juga berasal dari rilisnya GDP (Gross Domestic Product) Amerika Serikat pada kuartal I 2023 yang berada pada level 1,1% secara kuartalan, lebih rendah dari pencapaian kuartal sebelumnya yang tercatat di level 2,6%. Hal ini mengindikasikan perlambatan ekonomi Amerika Serikat di tahun 2023 ini akan terjadi di tengah pengetatan kebijakan moneter yang terus dilakukan oleh The Fed.
“Katalis negatif lainnya yang menekan pergerakan IHSG berasal dari terkoreksinya beberapa harga komoditas, diantaranya adalah batu bara, nikel, dan CPO,” ujar ia.
Harga komoditas-komoditas tersebut terkoreksi dampak dari penurunan permintaan global akibat kekhawatiran mengenai potensi perlambatan ekonomi global.
“Katalis negatif tersebut kami proyeksikan merupakan sentimen sesaat, dan bukan merupakan suatu konfirmasi fenomena sell in may and go away benar akan terjadi. Sebab sentimen dari data ekonomi dalam negeri sejauh ini masih sangat positif,” ucap Chisty.