Pemerintah Revisi Undang-undang BPK untuk Perluas Wewenang

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menggelar rapat koordinasi lanjutan Rancangan Undang-Undang (RUU) untuk perubahan UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengatakan, revisi Undang-undang BPK perlu dilakukan untuk pembaruan. "Kan UU (BPK) sudah dari tahun 2006," ujarnya di sela-sela rapat koordinasi di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Selasa (13/6).
Selain Mardiasmo, turut hadir dalam rapat tersebut, Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Ardan Adipradana, dan Deputi BUMN Bidang Infrastruktur Hambra.
(Baca juga: Mendobrak Mitos Audit BPK dan Opini WTP)
Menurut Mardiasmo, revisi tersebut menyangkut penambahan cakupan, kewenangan, serta sinergi antara eksternal dan internal BPK. Namun, pemerintah sebagai inisiator revisi ini masih membahasnya secara detail.
"Belum ada (poin revisi), baru dari awal. Masih latar belakangnya kenapa harus ada revisi," ucapnya.
Mardiasmo menampik jika revisi UU BPK terkait dengan adanya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan.
Pada bagian A angka 6, edaran tersebut menyatakan bahwa instansi yang memiliki kewenangan konstitusional untuk menyatakan kerugian negara hanya BPK. (Baca juga: BPK Serahkan 3 Audit ke Polisi, Negara dan Daerah Rugi Rp 69,5 Miliar)
Hal ini membuat badan audit lain, seperti BPKP hanya berwenang mengaudit dan memeriksa pengelolaan keuangan negara. Badan audit lain tidak memiliki wewenang menghitung kerugian negara dan disinyalir akan menghambat pemberantasan korupsi.
"Tidak (terkait Surat Edaran Mahkamah Agung). Ini lebih kepada normatif. Bagaimana memberikan kinerja keuangan negara lebih baik," tambahnya.