Pemerintah Bayar Utang Rp 100 Triliun ke BI dengan Skema Debt Switching
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia (BI) menyepakati pembayaran utang burden sharing senilai Rp 100 triliun melalui skema debt switching. Burden sharing merupakan utang yang ditanggung bersama antara pemerintah dan BI saat pemerintah menghadapi krisis ekonomi karena pandemi Covid-19.
“Mekanisme debt switching tersebut dilakukan dengan pertukaran antara Surat Berharga Negara (SBN) yang jatuh tempo dan SBN reguler yang dapat diperdagangkan di pasar dengan menggunakan harga pasar yang berlaku sesuai mekanisme pasar,” tulis pernyataan bersama Kementerian Keuangan dan BI, Jumat (27/12).
Berdasarkan catatan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam hasil Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2021, terdapat SBN seri variable rate yang khusus dijual kepada BI di pasar perdana dengan total nilai Rp 612,56 triliun.
Utang tersebut akan jatuh tempo pada 2025 dengan nilai Rp 100 triliun. Selanjutnya pada 2026 senilai Rp 154,5 triliun, pada 2027 mencapai Rp 154,5 triliun, pada 2028 senilai Rp 152,06 triliun, dan pada 2029 mencapai Rp 51,5 triliun.
Pemerintah sepakat menerbitkan SBN dan dibeli oleh BI di pasar sekunder berdasarkan prinsip-prinsip kebijakan fiskal serta moneter yang prudent. Selain itu juga tetap menjaga disiplin dan integritas pasar.
Kesepakatan bilateral debt switch antara Menteri Keuangan dan Bank Indonesia tertuang pada No. 326/KMK.08/2020 - No. 22/8/KEP.GBI/2020 tanggal 7 Juli 2020 sebagaimana diubah dengan Kesepakatan Bersama Menteri Keuangan dan Bank Indonesia No. 347/KMK.08/2020 - No. 12/9/KEP.GBI/2020 (SKB II) tanggal 20 Juli 2020 yang akan jatuh tempo pada tahun 2025.
Rencananya, SBN yang jatuh tempo pada 2025 akan diganti dengan SBN tenor panjang. Hal ini sesuai dengan kebutuhan operasi moneter BI dan kesinambungan fiskal pemerintah.
Dalam hal ini, BI akan membeli SBN dari pelaku pasar di pasar sekunder dan kemudian melakukan pertukaran dengan SBN yang lebih panjang.
"SBN pengganti adalah SBN dengan tenor yang lebih panjang sesuai dengan kebutuhan operasi moneter Bank Indonesia dan kesinambungan fiskal pemerintah," tulis Kemenkeu dan BI.
Keduanya berkomitmen bahwa penerbitan dan pembelian SBN dilakukan secara transparan, akuntabel sesuai dengan mekanisme pasar, dan tata kelola yang kuat.
Kebijakan Moneter BI pada 2025
BI akan mengarahkan kebijakan moneter pada 2025 secara konsisten untuk memastikan tetap terkendalinya inflasi dalam sasaran 2,5% plus minus 1% dan terjaganya stabilitas nilai tukar rupiah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Selain itu, bank sentral juga terus mencermati pergerakan nilai tukar rupiah, prospek inflasi, dan dinamika kondisi ekonomi yang berkembang. Khususnya dalam memanfaatkan ruang penurunan suku bunga kebijakan lanjutan.
Rencana operasi moneter pada 2025 untuk menjaga kecukupan likuiditas secara terukur sesuai dengan arah kebijakan moneter tersebut. Hal ini dengan mempertimbangkan kebutuhan likuiditas karena kenaikan uang primer dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
“Sejalan dengan rencana operasi moneter dimaksud, BI akan melakukan pembelian SBN dari pasar sekunder pada 2025,” tulis pernyataan BI dan Kemenkeu,
BI memastikan, pembelian SBN dari pasar sekunder ini telah memperhitungkan kebutuhan permintaan likuiditas karena adanya kenaikan uang primer, baik dalam bentuk uang kartal, rekening giro bank di BI, maupun Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang dipegang oleh penduduk bukan bank.
Jumlah pembelian SBN dari pasar sekunder oleh BI juga mempertimbangkan perubahan likuiditas. Untuk itu, operasi moneter pro-market Bank Indonesia juga akan terus dioptimalkan melalui instrumen moneter SRBI dengan menjadikan SBN sebagai underlying asset.