Ketua BPK: Saya Sudah Jual Sheng Yue 1 Dolar Hong Kong
Selang sehari setelah menemui Presiden Joko Widodo di Istana Negara untuk mengklarifikasi namanya di dalam Panama Papers, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Harry Azhar Azis bertandang ke kantor pusat Direktorat Jenderal (Ditjen Pajak). Pada Jumat (15/4) siang, Harry menemui DirjenPajak Ken Dwijugeasteadi untuk melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak penghasilan, termasuk kepemilikannya atas perusahaan di negara suaka pajak (tax havens) bernama Sheng Yue International Ltd.
"Sebagai Wajib Pajak, saya melaporkan bahwa perusahaan itu tidak ada lagi (kepemilikannya)," kata Harry dalam konferensi pers bersama Dirjen Pajak. Ia beranggapan, tidak ada yang salah dengan kepemilikan perusahaan cangkang tersebut selama tidak menyalahi ketentuan perpajakan.
Seperti diketahui, organisasi wartawan investigasi global (ICIJ) merilis Panama Papers secara serentak di seluruh dunia mulai Senin awal pekan lalu. Dokumen yang bersumber dari bocoran data Mossack Fonseca ini menyangkut 11,5 juta dokumen daftar klien Fonseca dari berbagai negara, termasuk Indonesia, tersebut diduga sebagai upaya untuk menyembunyikan harta dari endusan aparat pajak di negara masing-masing.
(Baca: Masuk Panama Papers, Ketua BPK: Diminta Anak Buat Perusahaan)
Salah satunya adalah Harry Azhar, yang memiliki Sheng Yue sejak tahun 2010. Setelah sempat membantah, Harry belakangan mengakui keberadaan dirinya di perusahaan itu. Ia memaparkan, kepemilikannya atas Sheng Yue merupakan cerita lama ketika masih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Perusahaan itu semula akan digunakan untuk menjalankan usaha anak dan keluarganya. Sedangkan Harry sempat menjabat sebagai direktur di perusahaan itu.
Saat terpilih menjadi Ketua BPK tahun 2014, Harry memutuskan mengundurkan diri dari Sheng Yue. Namun, lantaran proses pengunduran diri tersebut terbentur kesibukannya maka baru bisa dilakukan pada akhir 2015. Sheng Yue pun akhirnya tidak pernah beroperasi dan melakukan transaksi apapun. Karena itu, Harry memutuskan menjual perusahaan tersebut dengan harga sangat murah. “Hanya satu dolar Hong Kong saya jual waktu itu," katanya.
(Baca: Masuk Panama Papers, Ketua BPK Belum Lapor Harta Sejak Menjabat)
Harry juga menjelaskan alasan penggunaan alamat pemilik saham Sheng Yue menggunakan alamat kantor DPR. Sebab, persyaratan warga negara asing untuk membuat perusahaan di Hong Kong haruslah mengacu kepada alamat paspor. "Sedangkan alamat paspor saya saat itu (sebagai anggota) adalah alamat DPR.”
Dalam kesempatan tersebut, Ken mengatakan kepemilikan perusahaan cangkang merupakan hal biasa dalam dunia bisnis. Namun, praktik itu menjadi tidak lazim kalau perusahaan tersebut tidak masuk dan dilaporkan dalam SPT. Karena itulah, Ditjen Pajak melakukan klarifikasi kepada Harry sebagai wajib. "Kalau ada kekurangan kami akan minta kembali, kalau kelebihan akan kami kembalikan," ujar Ken.
(Baca: Ketua BPK di Panama Papers, PPATK Selidiki Pejabat)
Di sisi lain, Harry mengakui belum melaporkan harta kekayaannya sebagai pejabat negara kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalihnya, dia masih harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan KPK untuk membahas kepemilikannya atas Sheng Yue. “Apakah status sebagai bekas pemilik saham Sheng Yue perlu dicantumkan dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN),” ujarnya.
Seperti diberitakan Katadata sebelumnya, sejak menjabat Ketua BPK tahun 2014, Harry belum pernah melaporkan harta kekayaannya kepada KPK. Berdasarkan lembar LHKPN kepada KPK, dia tercatat baru dua kali melaporkan harta kekayaannya, yaitu pada saat masih menjadi anggota DPR. Pertama, pada 2003, bekas anggota DPR dari Partai Golkar ini melaporkan total nilai kekayaannya mencapai Rp 1,095 miliar dan US$ 11.344. Kekayaannya itu terdiri atas kepemilikan delapan bidang tanah dan bangunan yang tersebar di Jakarta Timur, Depok, Bogor, hingga Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Harry juga tercatat memiliki utang sebesar Rp 522,5 juta.
(Baca: Namanya Masuk Panama Papers, Ketua BPK Klarifikasi ke Jokowi)
Kedua, pada 2010, Harry kembali menyerahkan LHKPN. Kali ini, hartanya telah membengkak menjadi Rp 9,93 miliar dan US$ 680. Tercatat ada penambahan jumlah tanah dan bangunan hingga mencapai 12 bidang tanah dan bangunan dengan total nominal Rp 2,4 miliar. Jumlah kendaraan yang dimilikinya pun bertambah dari dua unit menjadi enam unit senilai total Rp 755 juta.
Setelah itu, Harry tak pernah lagi melaporkan harta kekayaannya kepada KPK meski kemudian dia menjadi Ketua BPK tahun 2014. Padahal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, seorang pejabat wajib melaporkan harta kekayaannya sebelum dan setelah menjabat suatu posisi.