Rupiah Anjlok, S&P Turunkan Prospek Utang Indonesia jadi Negatif

Image title
18 April 2020, 09:00
S&P Global, utang, corona, covid-19, keuangan
ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Ilustrasi, petugas menata uang Dolar AS di Cash Pooling Bank Mandiri, Jakarta, Kamis (28/11/2019). S&P menurunkan peringkat utang RI karena rupiah melemah dan utang meningkat di tengah pandemi Covid-19.

"Laju pemulihan ekonomi Indonesia terhadap pandemi corona tergantung kepada kemampuan pemerintah untuk menahan dampak struktural terhadap ekonomi sepanjang tahun ini. Rencana pemerintah untuk mengubah iklim investasi di Indonesia melalui Omnibus Law dapat menjaga pertumbuhan ekonomi dalam jangka menengah," ujar S&P.


Utang Luar Negeri Melemahkan Rupiah dan Menekan Fiskal

Profil utang Indonesia telah didukung oleh fiskal yang kuat di mana pemerintah secara ketat berpegang pada plafon defisit fiskal sebesar 3% terhadap PDB. Biarpun begitu, pemerintah mengumumkan bahwa batas defisit akan terlewati sebagai respon terhadap guncangan ekonomi akibat Covid-19.

Diproyeksi defisit akan mencapai level tertinggi dalam beberapa dekade terakhir di level 4,7%. Kemudian, defisit Indonesia akan berada di atas 3% terhadap PDB selama lebih dari dua tahun.

Proyeksi tersebut merupakan respon terhadap guncangan terhadap ekonomi. Dukungan fiskal yang kuat diperlukan untuk mengelola krisis kesehatan masyarakat dan memitigasi kerusakan ekonomi.

Meskipun pemerintah cenderung mengadopsi kebijakan fiskal yang lebih aman melalui penerbitan Perppu, defisit yang lebih tinggi lebih dari dua tahun hingga tiga tahun ke depan akan membuat utang pemerintah di atas 30% terhadap GDP dalam periode yang panjang.

Basis penerimaan negara menjadi kendala dalam penambahan peringkat utang. Stok utang yang lebih tinggi membawa tekanan terhadap biaya bunga pemerintah dibanding penerimaan negara.

Pelonggaran moneter yang luar biasa dan terkordinasi oleh bank utama, bersama dengan kebijakan moneter yang longgar dari Bank Indonesia, akan membantu mengimbangi efek dari utang yang tinggi dengan suku bunga yang lebih rendah dalam beberapa tahun ke depan.

Namun, kenaikan terhadap pembayaran bunga Indonesia di atas 10% dari penerimaan negara mengindikasikan tambahan tekanan terhadap peringkat Indonesia. Pasalnya, utang pemerintah beresiko karena sekitar 40% dalam mata uang asing.

Indonesia memang tidak menghadapi resiko besar dari memburuknya pembiayaan eksternal. Hal itu berdasarkan akses yang kuat ke pasar dan investasi langsung investor asing dalam beberapa tahun terakhir.

Namun, S&P memperkirakan total utang luar negeri, setelah dikurangi aset likuid yang dimiliki sektor publik dan keuangan, akan meningkat hingga 128% dari neraca transaksi berjalan pada 2020. Hal itu menandakan buruknya posisi utang luar negeri Indonesia karena melemahnya rupiah dan prospek ekspor yang buruk.

Lembaga itu memproyeksi hal tersebut akan berlangsung dalam dua hingga tiga tahun mendatang. Biarpun begitu, pertumbuhan ekspor akan berjalan semakin kuat sehingga neraca transaksi berjalan bisa turun kembali di bawah 100%.

Dukungan ekspor yang berasal dari depresiasi mata uang akan dibatasi pada tahun ini. Hal itu berdasarkan permintaan ekspor yang melemah dan harga komoditas yang tertekan, yang mayoritas dalam mata uang dolar Amerika Serikat (AS).

Biarpun begitu, fleksibilitas rupiah akan memberi manfaat bagi daya saing Indonesia selama beberapa tahun ke depan. Pada saat yang sama, hal itu akan memungkinkan bank sentral menambah cadangan devisa.

Bersamaan dengan kebijakan yang hati-hati dalam mengelola resiko pinjaman sektor swasta dalam jangka pendek, kebutuhan pembiayaan bruto (pembayaran rekening koran ditambah utang luar negeri jangka panjang) harus stabil tepat di bawah 100% neraca transaksi berjalan.

Pasalnya, tekanan yang berkepanjangan di pasar keuangan global akan membahayakan posisi tersebut. Khususnya, tekanan pasar keuangan selanjutnya dapat melemahkan cadangan devisa Indonesia jika bank sentral bergerak mendukung rupiah dengan menyediakan dolar AS di pasar.

Bank Indonesia merupakan lembaga penting yang mendukung kemampuan negara mempertahankan pertumbuhan ekonomi, dan melemahkan guncangan terhadap pasar keuangan. Presiden Jokowi memutuskan dalam Perppu bahwa BI bisa membeli surat berharga negara di pasar utama sebagai jalan terakhir. Hal itu dipercaya dapat membantu pemerintah mengelola biaya pinjaman selama periode disfungsi pasar yang ekstrem.

(Baca: Pekan Depan, BI Bisa Borong SUN di Pasar Perdana hingga 25%)

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...