Risiko Gelombang Restrukturisasi Kredit di Masa PSBB Jilid II

Image title
16 September 2020, 06:00
restrukturisasi kredit, NPL, bank, perbankan
123RF.com/Artit Aungpraphapornchai
Pembatasan sosial berskala besar di Jakarta untuk mengatasi pandemi corona akan berdampak ke sektor ekonomi.

Seperti, rasio kredit bermasalah Bank Mandiri pada semester I 2020 berada di level 3,42% atau naik dibandingkan periode yang sama tahun lalu di level 2,64%.

Direktur Manajemen Risiko Bank Mandiri Ahmad Siddik Badruddin mengatakan, Mandiri akan menjaga NPL akhir 2020 di level 3,4% hingga 3,6%. Rasio kredit bermasalah ini meningkat dibanding tahun lalu yang berada di level 2,33%.


Siddik mengatakan kenaikan NPL pada semester pertama tahun ini terutama disebabkan oleh kredit seret di segmen wholesale alias korporasi. Ada beberapa debitur besar yang sebelum pandemi Covid-19 memang sudah bermasalah atau kurang sehat.

Sebelum pandemi terjadi, Bank Mandiri masih memperkirakan debitur itu akan bisa melangsungkan usahanya dan membayar kewajibannya, tetapi perkiraan tersebut meleset. Alhasil, beberapa debitur besar Bank Mandiri tersebut harus mengalami penurunan status kredit. "Ditambah lagi, nasabah tersebut pun tidak bisa kami klasifikasikan ke dalam restrukturisasi under POJK 11," kata Siddik.

 


Rasio NPL pada BRI juga mengalami peningkatan, yakni pada semester pertama tahun ini ada di level 2,98% sedangkan periode sama 2019 di 2,35%. Hingga akhir tahun, NPL bank yang fokus bisnis pada sektor UMKM ini diproyeksi di level 3%, naik dari capaian NPL 2019 di level 2,62%.

Bank milik pemerintah lainnya, PT bank Negara Indonesia (Persero) Tbk juga mengalami kenaikan NPL, dimana per Juni 2019 di level 1,75% sementara Juni 2020 3,03%. BNI memproyeksi bahwa NPL hingga akhir tahun ada di rentang 3,7% hingga 4,5%, naik dari realisasi 2019 di level 2,27%.

NPL di BTN pada semester I 2020 di level 4,71%, naik dari capaian semester I 2019 di level 3,32%. Meski begitu, NPL pada akhir tahun ini diproyeksi ada di level 4,5%, turun dari realisasi NPL pada akhir 2019 yang ada di level 4,78%.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan seperti halnya periode pertama, PSBB Jilid II diperkirakan akan membuat ekonomi berjalan lebih lambat. Kondisi ini akan membuat banyak perusahaan mengajukan permintaan kredit modal kerja dan kemampuan bayar utang mereka akan turun.

Akibatnya restrukturisasi permintaannya akan meningkat."Di periode September ini akan terjadi kenaikan lagi," kata Bhima kepada Katadata.co.id.

Bhima mengatakan debitur yang sudah direstrukturisasi oleh perbankan pada periode Maret-Juni, akan berakhir masa restrukturisasinya dalam waktu dekat. Sehingga, di masa PSBB Jilid II ini akan ada gelombang permintaan restrukturisasi baru dan dari debitur yang masa restrukturisasinya akan habis dalam waktu dekat.

Hal tersebut bakal berpengaruh pada profitabilitas industri perbankan sehingga bank perlu melakukan pencadangan yang lebih besar untuk program restrukturisasi. Hal ini untuk mengantisipasi kenaikan kredit seret alias non-performing loan (NPL) pada 2021 mendatang ketika masa berlaku POJK 11 tersebut sudah selesai.

"Setiap bank yang melakukan restrukturisasi, pencadangan harus tetap bertambah untuk antisipasi ketika bank tidak bisa memberikan restrukturisasi lagi karena permintaannya terlalu tinggi," kata Bhima.

Hal senada diutarakan Direktur Riset dan Investasi Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus mengatakan perbankan dalam negeri memiliki kapasitas yang cukup untuk menahan gejolak perekonomian dalam negeri saat ini.

Meski dengan adanya restrukturisasi, profitabilitas perbankan akan mengalami penurunan dan akan mengalami kenaikan dalam segi NPL. "Itu salah satu risiko di sektor perbankan," katanya.

Halaman:
Reporter: Ihya Ulum Aldin
Editor: Yuliawati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...