OJK Perketat Kriteria Konglomerasi Keuangan: Minimal Aset Rp 100 T

Agustiyanti
27 Oktober 2020, 16:43
OJK, aset, konglomerasi keuangan, pandemi corona
Agung Samosir | Katadata
Ilustrasi. OJK mewajibkan konglomerasi keuangan untuk melaporkan

OJK sebelumnya telah menerbitkan tiga ketentuan soal konglomerasi keuangan, yakni POJK 17/POJK.03/2014 tentang Penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan, POJK 18/POJK.03/2014 tentang Penerapan Tata Kelola Terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan, dan POJK 26/POJK/03/2015 tentang Kewajiban Minimum Penyediaan Modal Minimum. Ketiga aturan ini masih berlaku.

Saat ini, rata-rata perusahaan keuangan yang memiliki aset di atas Rp 100 triliun bergerak di sektor perbankan. Sedikitnya 10 bank masuk dalam kriteria aset tersebut, antara lain  BCA, BNI, BRI, Bank Mandiri, BTN, Bank CIMB Niaga, Bank Danamon, Bank Panin, Bank Maybank Indonesia, dan Bank Permata. 

Pengawasan konglomerasi keuangan di Indonesia sempat menjadi sorotan Bank Dunia. Dalam laporan bertajuk "Risiko Ekonomi Global dan Implikasinya terhadap Indonesia" pada September 2019, Bank Dunia menyebut sistem keuangan secara keseluruhan cukup tahan banting terhadap gejolak ekonomi global. Namum, terdapat dua masalah yang parlu menjadi perhatian otoritas, yakni pengawasan konglomerasi keuangan dan lemahnya sektor asuransi.

Menurut lembaga ini, Indonesia perlu meningkatkan visibilitas risiko dengan menilai kesehatan dan ketahanan konglomerasi keuangan. Masalahnya, saat ini konglomerasi keuangan mewakili 88% aset perbankan. Namun, ada kesenjangan antara pengaturan dan pengawasan konglomerasi keuangan. Bank Dunia menilai pengawasan terintegrasi OJK terkendala oleh pengaturan tata kelola dalam aturan lembaga itu sendiri.

Selain itu, peraturan OJK juga tak menjangkau konglomerasi keuangan. Oleh karena itu, Bank Dunia pun menyarankan agar regulator industri keuangan itu menetapkan pengawasan risiko terhadap konglomerasi keuangan ke dalam satu tim dan merevisi Undang-Undang  OJK dengan menghilangkan tanggung jawab komisaris individu untuk masing-masing sektor.

Menurut Bank Dunia, OJK seharusnya memasukkan pengawasan terharap perusahaan gabungan dalam perimeter hukum dan peraturan OJK. Untuk itu, lembaga tersebut harus menyelaraskan regulasi, proses penilaian resiko supervisi, dan peringkat lintas sektor. Di sisi lain, Bank Dunia juga menyoroti masalah lemahnya pengawasan pada sektor asuransi di Indonesia. Hal ini terlihat dari kasus gagal bayar klaim yang dialami AJB Bumiputera dan Asuransi Jiwasraya.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...