Kantongi Izin OJK, IFG Life Bakal Pulihkan Nasabah Jiwasraya

Image title
9 April 2021, 18:29
Gedung Jiwasraya
Adi Maulana Ibrahim | KATADATA
Gedung Jiwasraya

Mengutip dari buku 'Robohnya Asuransi Kami' yang ditulis oleh Supardi S dan Irvan Rahardjo, kasus gagal bayar Jiwasraya sudah tercium sejak lama. Pada 2008 misalnya, saat itu Jiwasraya hanya mampu membukukan laba bersih senilai Rp 16 miliar saja, turun dari Rp 34 miliar pada 2007. Selain laba, aset juga menyusut dari Rp 5,1 triliun menjadi Rp 4,8 triliun.

Salah satu penyebab terpuruknya laba Jiwasraya kala itu adalah salah kelola investasi, ditambah pasar saham yang sedang jeblok di tengah krisis 2008, indeks harga saham gabungan (IHSG) jeblok 50,1%. Kondisi ini menyebabkan Jiwasraya menderita rugi signifikan dari penempatan investasinya di saham, baik secara langsung maupun melalui reksadana.

Dengan kinerja yang terpuruk, rasio solvabilitas atau risk based capital (RBC) Jiwasraya saat itu minus hingga 580%. Akibatnya, perseroan mengalami kekurangan cadangan premi hingga Rp 5,73 triliun. Saat itulah Jiwasraya sudah dinyatakan insolven.

"Dengan kondisi tersebut, Jiwasraya lantas meminta kepada pemerintah untuk memberikan bantuan suntikan modal. Sayangnya, ketika itu Kementerian Keuangan tidak mengabulkan permintaan Jiwasraya," seperti dikutip dari buku tersebut.

Sejalan penolakan bantuan injeksi modal dari pemerintah, Jiwasraya harus mencari jalan sendiri untuk menutupi kebutuhan likuiditas yang cukup besar. Salah satunya, pada 2013, Jiwasraya mencari pendanaan di pasar dengan memasarkan produk bancassurance bertajuk JS Proteksi Plan. Produk saving plan itu dijual dengan bunga tinggi di atas bunga deposito.

Ada tujuh bank yang memasarkan JS Proteksi Plan, yakni PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN), Standard Chartered Bank, Bank KEB Hana Indonesia, Bank Victoria, Bank ANZ, Bank QNB Indonesia, dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI).

Supardi dan Irvan menceritakan, kala itu produk ini laris di pasaran karena semua risiko investasi ditanggung oleh Jiwasraya. Dengan kata lain, nasabah atau pemegang polis tidak perlu khawatir nilai investasinya akan turun. Dalam sekejap, jumlah premi yang diraup Jiwasraya pun membengkak.

Asuransi sekaligus investasi yang menyasar kelas menengah atas ini memiliki premi dibayarkan sekaligus Rp 100 juta. Produk ini ditawarkan dengan imbal hasil pasti sebesar 9% hingga 13% sejak 2013 hingga 2018, dengan periode pencairan setiap tahun.

Pada 10 Oktober 2018, Jiwasraya mengumumkan tak mampu membayar klaim polis JS Saving Plan yang jatuh tempo sebesar Rp 802 miliar. Seminggu kemudian Menteri BUMN kala itu, Rini Soemarno melaporkan dugaan fraud atas pengelolaan investasi Jiwasraya.

Audit BPK selama 2015-2016 menjadi rujukan karena disebutkan investasi Jiwasraya dalam bentuk medium term notes (MTN) PT Hanson International Tbk (MYRX) senilai Rp680 miliar, berisiko gagal bayar. Belakangan Hanson menyatakan telah melakukan pembelian kembali (buy back) seluruh MTN pada Desember 2018.

Berdasarkan laporan audit BPK, perusahaan diketahui banyak melakukan investasi pada aset berisiko untuk mengejar imbal hasil tinggi sehingga mengabaikan prinsip kehati-hatian.

Pada 2018, sebesar 22,4% atau Rp 5,7 triliun dari total aset finansial perusahaan ditempatkan pada saham, tetapi hanya 5% yang ditempatkan pada saham LQ45. Lalu 59,1% atau Rp 14,9 triliun ditempatkan pada reksa dana, tetapi hanya 296 yang dikelola oleh top tier manajer investasi. Kondisi-kondisi tersebut menyebabkan kerugian hingga modal Jiwasraya minus.

Halaman:
Reporter: Ihya Ulum Aldin
Editor: Lavinda
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...