The Fed Pertahankan Suku Bunga, Ini Dampaknya ke Rupiah dan Utang RI
Bank sentral Amerika Serikat (AS), The Fed Kembali menahan suku bunga acuan di kisaran 5,25% - 5,5%. Level ini telah dipertahankan sejak Juli 2023 lalu.
Sejumlah ekonom memperkirakan kebijakan suku bunga The Fed tersebut akan berdampak pada perekonomian nasional, seperti pelemahan nilai tukar rupiah hingga membenani utang negara.
Ekonom Indef Esther Sri Astuti memperkirakan, kebijakan The Fed akan memengaruhi semua sektor ekonomi seperti pelemahan nilai tukar rupiah. Karena penguatan dolar AS setelah kebijakan The Fed keluar, akan berdampak pada aktivitas impor yang mengandalkan dolar AS.
"Impor Indonesia itu tinggi untuk beberapa komoditas pangan seperti beras. Jika dolar AS menguat, nilai impor tinggi, harga barang impor naik dan ini akan melemahkan rupiah," kata Esther kepada Katadata.co.id, Kamis (2/5).
Selain pelemahan rupiah, cicilan dan bunga utang negara juga berpotensi meningkat, karena pemerintah banyak mengambil utang dalam bentuk dolar AS. Sehingga hal ini akan mempersempit ruang fiskal pemerintah.
"Misalnya utang dan cicilan utang makin tinggi, maka ruang fiskal mengecil. Jika ruang fiskal mengecil, berarti belanja pemerintah mengecil juga," ujarnya.
Hingga Maret 2024, utang pemerintah mencapai Rp 8.262,1 triliun dengan rasio sebesar 38,79% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Nilai ini berpotensi bertambah dengan penguatan dolar AS sehingga memengaruhi program pemerintah.
Padahal, pemerintahan baru mempunyai banyak program prioritas, seperti makan siang gratis dan program infrastruktur yang membutuhkan anggaran besar. Maka itu, pemerintah diminta berhati-hati mengelola anggaran.
Esther memperingatkan pemerintah, agar tidak terlalu fokus pada program yang menghabiskan anggaran negara seperti program makan gratis yang tidak memberi dampak panjang bagi perekonomian.
Dengan anggaran terbatas, kata Esther, pemerintah mencari alternatif dengan menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025, walau kenaikan pajak tersebut akan berdampak luas seperti inflasi.
"Jika pemerintah tidak menggunakan dolar AS sebagai alat pembayaran internasional, mungkin dampaknya tidak akan sebesar ini," ujarnya.
Kondisi Global dan Domestik yang Perlu Diwaspadai
Kepala Ekonom Bank Pertama, Josua Pardede mengatakan, kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia menjadi kunci untuk memperkuat fundamental ekononomi dan stabilitas nilai tukar rupiah. "Kebijakan pemerintah dan BI bisa membuat pasar keuangan Indonesia menjadi lebih menarik lagi," kata Josua.
Secara eksternal, risiko yang perlu diwaspadai masih seputar risiko higher for longer atau suku bunga tinggi yang ditahan lebih lama dan perkembangan kondisi geopolitik Timur Tengah.
Dari sisi regional, perkembangan ekonomi Cina dan Jepang yang merupakan mitra dagang utama Indonesia juga cukup dapat memengaruhi ekonomi Indonesia.
Sementara dari sisi domestik, tingkat inflasi yang dalam tren meningkat perlu diawasi, dan pelemahan rupiah yang dapat berisiko pada kenaikan harga impor atau imported inflation juga perlu diawasi.
"Selain itu, risiko twin deficit, atau pelebaran defisit pada neraca transaksi berjalan dan anggaran fiskal juga perlu diawasi," kata Josua.