3 Kunci Sukses RI jadi Penerbit Green Sukuk Terbesar di Dunia
Bank Indonesia (BI) terus memaksimalkan penggunaan instrumen pasar berkelanjutan berupa green sukuk di pasar keuangan syariah jangka pendek. Hal ini dilakukan untuk mendukung pemulihan ekonomi global.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyebut Indonesia sebagai negara penerbit green sukuk terbesar di dunia yang sangat diapresiasi oleh negara-negara anggota IsDB.
Hal ini sampaikan Perry dalam Annual Meeting Islamic Development Bank (IsDB) ke-50 bertema Accelerating Climate Finance through Green and Sustainability Sukuk di Ryadh Arab Saudi, pada Senin (29/4).
Perry juga mengungkapkan tiga kunci pengembangan green sukuk. Pertama, komitmen dan membangun proyek investasi yang kuat melalui mitra yang tepat, koordinasi seluruh pemangku kepentingan serta sosialisasi secara masif.
“Kedua, menetapkan strategi dan kerangka green sukuk yang jelas yang dilengkapi dengan dukungan politik, kebijakan dan pengaturan, serta kerjasama yang solid antar negara melalui praktik standar,” ujar perry dalam keterangan resmi dikutip Selasa (30/4).
Ketiga, melakukan penerbitan sukuk untuk mendorong kebijakan moneter dan pengembangan pasar uang. Berbagai upaya tersebut juga untuk mendukung stabilitas nilai tukar rupiah.
"Bank Indonesia juga telah menerbitkan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI) sebagai instrumen moneter pro market yang dapat menjadi alternatif instrumen baru untuk mengelola likuiditas pelaku keuangan syariah,” ujarnya.
Mendanai Proyek Infrastruktur Berkelanjutan
Pada tahun 2018, pemerintah telah menerbitkan sukuk hijau bersamaan dengan obligasi hijau. Penerbitan ini mengikuti pengesahan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 60 /POJK.04/2017 Tahun 2017 tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek Bersifat Utang Berwawasan Lingkungan (Green Bond).
Berbeda dari obligasi hijau, sukuk hijau ini mengikuti prinsip perbankan syariah. Setelah penerbitan sukuk hijau global, pemerintah melanjutkannya dengan menerbitkan sukuk hijau ritel pada 2019.
Perry mengatakan, penerbitan sukuk ini diarahkan untuk menunjang pembiayaan anggaran pendapatan dan belanja negara dan mendanai proyek-proyek infrastruktur berkelanjutan.
"Instrumen ini juga diharapkan dapat menarik investor surat berharga negara domestik, terutama yang tertarik dengan pasar keuangan syariah," kata Perry.
Secara kumulatif, instrumen surat utang ini berhasil menggalang dana sebesar US$ 6,9 miliar pada 2023. Terdiri US$ 5 miliar untuk sukuk hijau global, Rp 21,86 triliun untuk sukuk hijau ritel, dan Rp 6,73 triliun untuk sukuk hijau berbasis proyek.
Dari aspek profil penyaluran, dana yang digalang mayoritas disalurkan ke sektor transportasi berkelanjutan. Kemudian diikuti sektor resiliensi perubahan iklim, dan proyek-proyek pengelolaan air dan limbah air berkelanjutan.