Rupiah Ditutup Melemah Jadi Rp 16.046 per Dolar AS
Nilai tukar (kurs) rupiah melemah 20 poin atau 0,13% menjadi Rp 16.046 per dolar Amerika Serikat (AS) pada penutupan perdagangan Selasa sore (7/5). Padahal rupiah sempat di level Rp 16.026 per dolar AS pada Selasa pagi.
Tak berbeda, kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada Senin (6/5) juga turun ke level Rp 16.054 per dolar AS dari sebelumnya sebesar Rp16.025 per dolar AS.
Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuabi mengatakan, pada minggu ini pasar masih fokus terhadap komentar dari beberapa pejabat bank sentral AS, The Fed mengenai jalur suku bunga.
"Terutama setelah data nonfarm payrolls (NFP) yang lebih lemah dari perkiraan membuat para pedagang sekali lagi mulai memperkirakan penurunan suku bunga oleh bank sentral,” kata Ibrahim dalam keterangan tertulis Selasa (7/5).
Sementara itu, Presiden The Fed Richmond Thomas Barkin dan Presiden Fed New York John Williams memberikan pernyataan bahwa tingkat suku bunga saat ini sudah sesuai, yang membawa inflasi ke target 2% sehingga tidak butuh dinaikkan kembali.
Alasan mereka memberikan pernyataan tersebut didasari data PMI (Purchasing Managers' Index) Manufaktur ISM AS pada April 2024 yang hanya mencapai angka aktual 49,2, lebih rendah dari perkiraan sebesar 50,0 atau dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 50,3.
Begitu pula dengan data NFP bulan April 2024 yang hanya mencapai angka aktual 175 ribu, lebih rendah dari dugaan sebesar 238 ribu atau dibandingkan bulan sebelumnya sebanyak 315 ribu.
Rupiah Berpotensi Menguat
Selain pernyataan dovish yang disampaikan pejabat The Fed, tidak ada data ekonomi penting dari dalam maupun luar negeri yang memberikan pengaruh signifikan terhadap nilai tukar rupiah.
Menurut Analis Bank Woori Saudara Rully Nova, optimisme pasar terhadap proyeksi penurunan suku bunga oleh The Fed pada September 2024 berpotensi menguatkan kurs rupiah.
“Optimisme pasar akan berlangsung lama mengingat pasar tenaga kerja AS sudah tidak seketat dibanding tahun lalu karena ekonomi AS mulai soft landing tahun ini akibat kebijakan suku bunga tinggi oleh The Fed,” kata dia.
Kemudian, data pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I 2024 yang lebih tinggi dibandingkan kuartal sebelumnya memberikan euforia terhadap pelaku pasar.
“Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih tinggi merefleksikan ekonomi Indonesia yang tidak terpengaruh oleh perlambatan ekonomi global dan masih kuatnya daya beli masyarakat dengan tingkat konsumsi masyarakat yang masih tinggi,” ujar Rully.