UMKM Berpeluang Selamatkan Indonesia dari Jebakan Kelas Menengah
Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) menilai Indonesia dapat keluar dari jebakan kelas menengah dengan pertumbuhan ekonomi yang saat ini masih stagnan di kisaran 5%. Wakil KEIN Arif Budimanta mengatakan, salah satu strateginya dengan mendorong Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) untuk naik kelas.
"Sebab pada 2017 lalu, 98,7% usaha di Indonesia merupakan usaha mikro yang menyerap 89,17% tenaga kerja domestik," kata Arif dalam media gathering di Hotel Pullman, Jakarta, Senin (27/5).
Hanya, UMKM baru berkontribusi sebesar 36,82% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Dengan peran UMKM yang sangat kecil dalam kegiatan ekspor dan investasi, sektor ini memiliki potensi pertumbuhan besar.
(Baca: Target Pemerintah Ekonomi Tumbuh 5,3-5,6% pada 2020 Dinilai Kerendahan)
Berdasarkan simulasi yang dilakukan KEIN, jika saja 10% UMKM naik kelas, pertumbuhan ekonomi diperkiran dapat mencapai 7% bahkan hingga 9,3% secara tahunan. Namun, hal ini juga harus diikuti dengan kebijakan yang matang pada sektor UMKM.
Arif mengatakan, peningkatkan peran UMKM dalam aktivitas ekspor dan investasi wajib dilakukan, dengan dukungan insentif fiskal maupun moneter. Selain itu, investasi juga dapat diarahkan kepada UMKM, terutama yang berorientasi ekspor.
UMKM juga diharapkan bisa didorong agar bisa memproduksi barang substitusi impor yang selama ini memberatkan neraca dagang. Jika UMKM bisa didorong naik kelas, Indonesia diharapkan bisa memiliki pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.
Berdasarkan amanat Presiden Joko Widodo, selain UMKM, kunci pertumbuhan ekonomi saat ini adalah melalui peningkatan ekspor dan investasi.
(Baca: Gandeng Dua Kementerian, Gojek Target 35 Ribu UMKM Bergabung Tahun Ini)
Investasi dan Penyerapan Tenaga Kerja
Dengan situasi perang dagang yang memanas, Indonesia diharapkan dapat mengambil peluang untuk mendorong ekspor melalui diversifikasi dan perluasan pasar. Selain itu, ekspor komoditas unggulan daerah dapat terus digenjot yang disertai dengan upaya peningkatan subtitusi impor.
Sementara dari segi investasi Indonesia dinilai masih terhambat oleh sistem perizinan Online Single Submission (OSS) yang sulit. Hal ini tercermin dari terhambatnya pertumbuhan penanaman modal asing (PMA) pada triwulan I 2019. Adapun, PMA triwulan I 2019 mencapai Rp 107,9 triliun atau melambat 0,9% dibandingkan tahun lalu pada periode yang sama.
Investasi juga diharapkan mampu membawa dampak signifikan bagi penyerapan tenaga kerja. Namun, dari yang ada saat ini belum menunjukkan hasil yang optimal. Hal itu disebabkan adanya kesenjangan antara investasi yang masuk dengan sektor penyerap tenaga kerja.
“Realisasi PMA ke sektor manufaktur tidak banyak ditujukan untuk sektor-sektor padat karya," ujarnya.
(Baca: BNI Terapkan Strategi Kredit untuk UMKM Berbasis Ekspor)
Oleh karena itu, ia menyarankan investasi yang masuk, baik asing dan domestik harus diarahkan ke sektor padat karya.
Sementara itu, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Mohammad Fadhil Hasan menilai Indonesia harus dapat mengambil kesempatan dari perang dagang. Indonesia diharapkan dapat menarik relokasi perusahaan dari Tiongkok ke Indonesia.
"Kita bisa membuka kesempatan ini untuk relokasi investasi dari Tiongkok ke Indonesia," ujarnya.