Misi Sulit Melanjutkan Surplus BPJS Kesehatan Setelah Pandemi

Agustiyanti
18 September 2020, 20:23
bpjs keuangan, surplus bpjs keuangan, defisit bpjs keuangan,
123RF.com/Andriy Popov
Ilustrasi. Pemerintah berharap BPJS Kesehatan kembali mencatatkan surplus pada tahun depan.

Ketua Dewan Pengawasan Chairul Radjab Nasution menjelaskan terjadi penurunan klaim rasio BPJS Kesehatan pada tahun ini. Namun, penurunan rasio klaim pada Juli dibandingkan Februari sebelum pandemi Covid-19 merebak di Indonesia hanya mencapai 4%. "Artinya, walaupun kedatangan pasien berkurang, biaya manfaat masih besar," ujar Chairul.

Ia menyebut terdapat potensi kenaikan klaim usai pandemi COvid-19. BPJS Kesehatan terutama harus mengantisipasi peningkatan keparahan penyakit katastropik peserta dan lonjakan kunjungan.

"BPJS Kesehatan harus mengevaluasi berkala utilisasi fasilitas kesehatan pada masa pandemi di setiap wilayah untuk mengantisipasi ini," jelas dia.

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar juga menilai ada potensi defisit keuangan kembali terjadi pada tahun depan. Salah satunya, lantaran banyak peserta BPJS Kesehatan dengan penyakit berat yang menahan diri untuk menggunakan fasilitas kesehatan selama pandemi Covid-19.

Ia khawatir, usai pandemi reda, para peserta BPJS Kesehatan tersebut akan berbondong--bondong datang ke rumah sakit dengan penyakit yang lebih berat. 

"Dari sisi penerimaan pada potensi penurunan karena peserta penerima upah yang dibayar badan usaha masih akan berat. Iuran peserta mandiri untuk kelas tiga juga akan naik jadi Rp 35 ribu, ini berpotensi menimbulkan tunggakan di kondisi saat ini," katanya. 

JKN-KIS BPJS KESEHATAN JAYAPURA
JKN-KIS BPJS KESEHATAN JAYAPURA (ANTARA FOTO/Indrayadi TH/hp.)

Pengamat Asuransi Dedy Kristianto menilai BPJS Kesehatan akan sulit mempertahankan surplus yang mungkin terjadi pada tahun ini jika tak melakukan perubahan-perubahan mendasar, terutama dalam penanganan biaya. Kenaikan iuran yang sudah dilakukan pemerintah dinilai tak cukup. 

"Untuk seimbang saja sulit kalau tidak ada perubahan. Pemerintah ujung-ujungnya harus menambal lagi BPJS Kesehatan," ujar Dedy kepada Katadata.co.id pada Jumat (18/9). 

Menurut Dedy, ada sejumlah langkah yang dapat dilakukan agar BPJS Kesehatan keluar dari penyakit menahun defisit keuangan.

Pertama, merealisasi rencana untuk mengubah kelas layanan peserta mandiri BPJS Kesehatan yang saat ini terdiri dari kelas 1, 2, dan 3 menjadi kelas standar. Ini diharapkan dapat menurunkan biaya klaim peserta yang saat ini yang antara lain dibebani oleh perbedaan kelas layanan.

Kedua, mengevaluasi manfaat untuk pasien dengan penyakit katastropik yang selama ini menjadi beban berat bagi BPJS Kesehatan. Total terdapat 19,99 juta kasus penyakit katastropik selama tahun 2019 yang memakan anggaran BPJS Kesehatan Rp 20,28 triliun.

Ketiga, menerapkan kordinasi manfaat coordination of benefit dengan perusahaan asuransi swasta. "Ini sebenarnya sudah pernah dijajaki BPJS tapi mandek karena beberapa hal," ujarnya. 

Dedy menilai CoB dengan perusahaan swasta penting untuk meringankan beban klaim BPJS Kesehatan. Tanpa CoB, banyak peserta yang akan memilih  menggunakan BPJS Kesehatan terutama untuk penyakit berat agar ditanggung sepenuhnya. 

Sekretatis Jenderal Kementerian Kesehatan Oscar Primadi menjelaskan pemerintah saat ini tengah merumuskan kelas standar untuk menggantikan sistem kelas 1, 2, dan 3  bagi peserta mandiri. Dengan demikian, peserta mandiri hanya akan berada dalam satu kelas layanan dan tarif. 

Adapun perubahan kelas standar berada di bawah  koordinasi Dewan Jaminan Sosial Nasional. Lalu, DJSN melibatkan sejumlah pihak yakni Kemenkes sendiri, BPJS Kesehatan, Kementerian Keuangan, kalangan akademisi, perhimpunan dan asosiasi rumah sakit.

"Perumusan meliputi konsep dan kriteria kelas standar yang akan diberlakukan dalam jaminan kesehatan nasiona," ujarnya.

Rencananya, penyusunan rancangan paket manfaat JKN berbasis KDK dan rawat inap kelas standar dilakukan pada Januari hingga September tahun ini. Lalu pada Oktober hingga Desember, proses legal dari aturan tersebut akan dimatangkan. 

Setelah itu, dilakukan pembahasan rancangan revisi Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan oleh internal Kemenkes. Selanjutnya, harmonisasi revisi Perpres Nomor 82 Tahun 2018 hingga penetapannya oleh Presiden Joko Widodo Terakhir, implementasi bertahap dilakukan mulai awal 2021 hingga akhir 2022.

Halaman:
Reporter: Agatha Olivia Victoria
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...