Bahaya Deflasi Tiga Bulan Beruntun saat Resesi Ekonomi
Indonesia mengalami deflasi selama tiga bulan berturut-turut pada Juli hingga September atau sepanjang kuartal III 2020. Deflasi beruntun ini terjadi akibat daya beli yang lemah di tengah resesi ekonomi saat ini.
Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan pandemi Covid-19 berdampak pada suplai dan permintaan barang/jasa. Namun beruntung, suplai barang saat ini memadai. Hanya saja, daya beli masih sangat lemah. Kondisi ini menyebabkan deflasi terus terjadi.
"Deflasi yang kembali terjadi pada September di satu sisi karena pasokan memadai. Namun di sisi lain, ini menunjukkan daya beli kita yang masih sangat lemah," ujar Suhariyanto dalam konferensi pers, Rabu (1/10).
Indonesia terakhir kali mengalami deflasi berturut-turut selama tiga bulan pada 1999. Saat itu, terjadi deflasi beruntun selama tujuh bulan sejak Maret hingga September usai lonjakan harga akibat krisis moneter 1998.
Adapun daya beli yang melemah terutama terlihat dari tren inflasi inti yang menurun sejak Maret 2020. Mengutip penjelasan pada laman Bank Indonesia, inflasi inti adalah komponen pergerakan harga yang dipengaruhi oleh faktor fundamental ekonomi.
"Inflasi inti tahunan pada September sebesar 1,86% merupakan yang terendah sejak BPS dan BI pertama kali menghitung komponen inflasi inti pada 2004," katanya.
Berdasarkan data BPS, komponen inti masih memberikan andil inflasi pada September sebesar 0,08%. Sementara komponen harga yang diatur pemerintah dan harga yang bergejolak memberikan andil deflasi masing-masing sebesar 0,03% dan 0,1%.
Sementara berdasarkan komponen pengeluaran, deflasi terutama disumbang oleh penurunan harga makanan dan minuman seperti daging ayam ras, telur ayam, bawang merah, dan beberapa jenis sayuran. Namun, masih ada sejumlah komoditas pada kelompok tersebut yang mengalami kenaikan harga seperti minyak goreng dan bawang putih.
"Lebih banyak komoditas yang mengalami penurunan harga sehingga kelompok makanan dan minuman mencatatkan deflasi," katanya.
Harga transportasi juga mengalami deflasi sebesar 0,33% dengan andil sebesar 0,04%. Penurunan harga terutama terjadi pada tarif angkutan udara di 40 kota yang disurvei.
Deflasi Cermin dari Resesi
Kepala Ekonom BCA David Sumual mengatakan deflasi mencerminkan aktivitas ekonomi yang melemah. Di satu sisi, deflasi meringankan beban masyarakat yang mengalami penurunan pendapatan. Namun, di sisi lain, deflasi mencerminkan daya beli yang masih lemah.
"Kondisi deflasi saat ini belum terlalu mengkhawatirkan. Ini cerminan dari resesi yang sedang terjadi saat ini," ujar David.
Meski resesi ekonomi diprediksi lebih dalam dari perkiraan awal, menurut David, kondisi ekonomi domestik masih jauh dari depresi. Ekonomi suatu negara baru dapat dikatakan mengalami depresi jika terjadi resesi berkepanjangan lebih dari satu tahun.
"Kita dalam sejarah belum pernah mengalami, salah satunya karena negara berkembang. Depresi ekonomi banyak terjadi pada negara maju, misalnya Jepang," katanya.
Namun demikian, jika permintaan lemah, maka konsumsi rumah tangga akan sulit tumbuh. Padahal, konsumsi rumah tangga memberikan sumbangan paling besar pada perekonomian.
Pelemahan daya beli saat ini terutama disebabkan oleh sikap golongan menengah atas yang memilih untuk menahan belanja akibat ketidakpastian pandemi Covid-19. Dengan demikian, langkah terpenting untuk memulihkan daya beli ekonomi adalah memastikan penanganan kesehatan.
Presiden Joko Widodo sebelumnya mengingatkan kedisiplinan menjadi cara paling ampuh untuk mencegah penyebaran Covid-19 sebelum vaksin tersedia. Masyarakat harus disiplin menerapkan gerakan 3M, yakni menggunakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak.
Pasien positif Covid-19 bertambah 4.284 orang per 30 September 2020. Total Kasus mencapai 287.008 dengan 214.947 pasien dinyatakan sembuh dan 10.740 orang meninggal dunia.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia Piter Abdullah juga menyebut deflasi pada September sesuai dengan perkiraan karena kondisi daya beli masyarakat yang masih lemah. Hal ini wajar terjadi ketika permintaan di pasar begitu rendah sementara pasokan barang cukup tersedia.
"Permintaan yang rendah diakibatkan menurunnya daya beli kelompok masyarakat bawah, sementara masyarakat kelompok atas masih menahan konsumsi," katanya.
Selama wabah masih merebak, menurut Piter, daya beli masyarakat tetap akan lemah dan berpotensi menyebabkan deflasi pada bulan-bulan ke depan.
Permintaan yang lemah pun berdampak pada sektor usaha. Ini sudah ditunjukkan oleh Data Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur pada September yang menurun dari 50,8 pada Agustus menjadi 47,2.
Penurunan ini merupakan yang pertama sejak April dan menunjukkan aktivitas manufaktur terkontraksi. Angka PMI di atas 50 menunjukkan ekspansi, sedangkan di bawah itu menunjukkan kontraksi.
Ekonom Core Yusuf Rendy Manilet menyebut permintaan barang dan jasa yang berada di level rendah membuat banyak pabrik mengurangi proses produksi. Padahal, beban perusahaan seperti listrik atau gaji pegawai mesti tetap berjalan. Hal ini pada banyak kasus akhirnya mendorong terjadinya efisiensi, salah satunya melalui pemutusan hubungan kerja.
Ia memperkirakan pengangguran pada tahun ini bertambah 15 juta orang akibat pandemi Covid-19.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Febrio Kacaribu mengatakan deflasi tiga bulan berturut-turut memberikan gambaran kepada pemerintah bahwa permintaan masih belum pulih. Namun, pemerintah berharap realisasi perekonomian pada kuartal ketiga kemarin tak seburuk kuartal sebelumnya.
"Kami masih harapkan dengan data-data terakhir, kontraksi ekonomi kuartal tiga tak akan sedalam kuartal dua dan berada pada rentang negarif 1,1% hingga 2,9%," ujar Febrio, Kamis (1/10).
Pemerintah masih memprediksi ekonomi sepanjang tahun ini terkontraksi pada kisaran 0,6% hingga 1,7%. Proyeksi tersebut tak berbeda jauh dengan Bank Dunia seperti tergambar dalam databoks di bawah ini.
Adapun untuk mendorong pemulihan daya beli dan perekonomian, pemerintah akan terus mendorong penyaluran anggaran perlindungan sosial
Untuk itu, berbagai anggaran perlindungan sosial akan terus digelontorkan hingga akhir tahun ini. "Pencairannya anggaran saat ini sudah mencapai lebih dari Rp 200 triliun," ujar Febrio, Kamis (1/10).
Febrio berharap program bantuan presiden untuk usaha produktif dan subsidi upah bagi pekerja bergaji di bawah Rp 5 juta dapat mendorong daya beli dan membantu pemulihan ekonomi. Kedua program ini baru mulai disalurkan pada September.
Pemerintah mengalokasikan anggaran program penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional sebesar Rp 695,2 triliun pada tahun ini. Namun hingga 28 September, pencairan anggaran baru mencapai 43,8% atau sebesar Rp 304,62 triliun.
Realisasi anggaran perlindungan sosial tercatat paling besar mencapai Rp 150,86 triliun atau 73,9% dari pagu. Program tersebut meliputi penyaluran sembako Rp 31,9 triliun, Program Keluarga Harapan Rp 36,3 triliun, Bansos Tunai Non-Jabodetabek Rp 24,8 triliun, Bantuan Langsung Tunai dana desa Rp 11,9 triliun, dan bansos Jabodetabek Rp 4,4 triliun. Kemudian, kartu prakerja Rp 19,5 triliun, diskon listrik Rp 3,5 triliun, dan subsidi gaji Rp 14 triliun.
Program lainnya yakni anggaran untuk kesehatan baru terealisasi Rp 21,79 triliun atau 24,9% dari pagu. Lalu program anggaran sektoral K/L dan pemda baru isalurkan Rp 25,3 triliun atau 23,84% dari pagu Rp 106,11 triliun.
Sementara program dukungan UMKM telah dicairkan Rp 79,06 triliun atau 64% dari pagu Rp 123,46 triliun. Realisasi tersebut terdiri dari penempatan dana Rp 58,7 triliun, banpres produktif Rp 15,9 triliun, subsidi bunga Rp 3 triliun, penjaminan kredit UMKM Rp 100 miliar, PPh final UMKM Rp 400 miliar, dan pembiayaan investasi koperasi Rp 1 triliun.
Satu-satunya program yang belum berjalan hingga saat ini adalah pembiayaan korporasi yang memiliki pagu Rp 53,5 triliun.
Masyarakat dapat mencegah penyebaran virus corona dengan menerapkan 3M, yaitu: memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak sekaligus menjauhi kerumunan. Klik di sini untuk info selengkapnya.
#satgascovid19 #ingatpesanibu #pakaimasker #jagajarak #cucitangan