Manuver Revisi Empat UU Pajak lewat Omnibus Law Cipta Kerja

Agustiyanti
6 Oktober 2020, 19:19
UU omnibus law cipta kerja, UU cipta kerja, omnibus law perpajakan, revisi uu perpajakan, aturan pajak
Alexander Ishchenko/123rf
Ilustrasi. Klaster perpajakan dalam UU Cipta Kerja diperkirakan menggerus penerimaan pajak pada tahun depan.

Ancam Penerimaan Negara Tahun Depan

Pengamat pajak dari DDTC Bawono menjelaskan, klaster perpajakan dalam UU Cipta Kerja akan berpengaruh pada penerimaan negara tahun ini,  Namun, kebijakan ini dibuat untuk meningkatkan kemudahan dan kepastian berusaha yang  dapat berdampak positif pada penerimaan pajak dalam jangka panjang. 

"Ini merupakan langkah strategis pemerintah untuk memulihkan ekonomi. Tanpanya upaya optimalisasi seperti ini penerimaan justru akan lebih menantang," ujar Bawono kepada Katadata.co.id, Selasa (6/10). 

Kemudahan dan kepastian berusaha, menurut dia, adalah kunci bagi investasi dan daya saing Indonesia. Secara tidak langsung, menurut dia, ini akan menjadi kunci perluasan basis pajak.

"Khusus untuk kepastian hukum dalam perpajakan dengan mengurangi sanksi dan denda diharapkan akan meningkatkan kepatuhan pajak secara sukarela, katanya. 

Penerimaan pajak pada tahun depan, menurut Bawono, tetap akan menantang. Hal ini lantaran  pemulihan penerimaan pajak yang biasanya lebih lambat dari perekonomian. "Umumnya pemulihan pajak akan lebih lambat dari ekonomi," katanya. 

Sementara itu, pengamat pajak dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai klaster perpajakan dalam Omnibus Law sangat berpihak pada kepentingan pengusaha. Hasil dari berbagai insentif yang diberikan pemerintah pun belum tentu berdampak signifikan pada perekonomian, sedangkan penerimaan negara sudah pasti akan tergerus. 

"Penerimaan negara dalam jangka panjang sendiri akan sangat bergatung pada bagaimana langkah pemerintah memperluas basis pajak. Kondisi saat ini, DJP masih menggunakan cara kuno untuk meningkatkan basis pajak," kataya.

 Ditjen Pajak Suryo pada Februari lalu memperkirakan berbagai insentif pajak yang semula akan diatur dalam omnibus law perpajakan berpotensi memangkas penerimaan negara lebih dari Rp 80 triliun. Namun, potensi tersebut menghitung pula dampak penurunan PPh pajak badan yang pada akhirnya diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.

Adapun diskon pajak yang diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2020 sesuai dengan rencana pemerintah dalam rancangan omnibus law perpajakan. Tarif PPh Badan akan diturunkan dari 25% saat ini menjadi 22% mulai tahun pajak  2020 dan 2021, kemudian menjadi 20% mulai tahun pajak 2022.

Meski diskon pajak belum berlaku pada tahun ini, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara memperkirakan penerimaan pajak pada tahun ini mengalami kekurangan atau shortfall mencapai Rp 500 triliun dari target awal APBN 2020. 

"Penerimaan pajak kami perkirakan Rp 500 triliun tidak akan terkumpul dari target awal APBN.  Kegiatan ekonominya turun dan pemerintah juga memberikan seperangkat insentif pajak," ujar Suahasil  dalam acara Indonesia Knowledge Forum (IKF) IX 2020, Selasa (6/10).

Pemerintah dua kali memangkas target penerimaan pajak pada tahun ini sebesar Rp 443,8 triliun dari target dalam Undang-undang APBN 2021 melalui Perpres Nomor 54 dan 72. Dengan proyeksi kekurangan penerimaan Rp 500 triliun dari UU APBN 2020, maka penerimaan pajak pada akhir tahun ini akan mencapai Rp 1.142,6 triliun atau lebih rendah dari target terakhir yang dibuat pemerintah Rp 1.198 triliun. 

Sementara dalam APBN 2021, pemerintah menargetkan penerimaan pajak mencapai Rp 1.229,6 triliun, naik hanya 2,9% dibandingkan target pajak dalam perubahan kedua APBN 2020.  

Halaman:
Reporter: Agatha Olivia Victoria
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...