Angin Segar Kepastian The Fed Berhembus ke Pasar Keuangan RI
Nilai tukar rupiah pun melemah 2,2% secara rerata dan 1,16% secara point to point per 17 Maret 2021 dibandingkan dengan level Februari 2021. Selain itu, mata uang Garuda tercatat mengalami depresiasi sekitar 2,62% dibandingkan dengan level akhir 2020. Namun, penurunan tersebut relatif lebih rendah dari sejumlah negara emerging lain seperti Brazil, Meksiko, Korea Selatan, dan Thailand.
Perry menegaskan, pihaknya akan terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai dengan fundamentalnya dan bekerjanya mekanisme pasar melalui efektivitas operasi moneter dan ketersediaan likuiditas di pasar. Jika diperlukan, langkah triple intervention di pasar spot, pasar DNDF (Domestic Non-Deliverable Forward), serta pasar sekunder surat berharga negara (SBN) juga akan dilakukan.
BI juga akan mengoptimalkan transaksi valas melalui skema Local Currency Swap (LCS). Skema ini dapat mengurangi penggunaan dolar AS dalam transaksi perdagangan dan investasi antar negara. Saat ini, menurut Perry, BI tengah memfinalisasi teknis operasionalisasi tukar menukar uang dengan Tiongkok. Selain dengan Tiongkok, BI juga telah memiliki kerja sama LCS dengan bank sentral Jepang, Bank Negara Malaysia, juga Bank of Thailand.
Demi menjaga stabilitas rupiah, bank sentral memutuskan untuk mempertahankan tingkat bunga acuan di level 3,5%. Adapun sejak tahun lalu, BI telah memangkas bunga acuan sebesar 1,5%.
Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance Esther Sri Astuti mengatakan ada potensi aliran modal keluar dari Amerika Serikat dengan sinyal dovish yang disampaikan The Fed. Imbasnya, Indonesia dan negara-negara emerging market dapat menjadi tujuan investor yang sebelumnya menanamkan modalnya di Negeri Adidaya.
Namun, menurut dia, pemerintah haru memberikan insentif dan kemudahan berusaha di Indonesia untuk meningkatkan minat asing berinvestasi di Indonesia. "Tingkat suku bunga RI juga harus lebih tinggi dari AS," ujar dia.
Di sisi lain, pemerintah dan BI harus tetap memitigasi jika kejadian derasnya dana asing kembali keluar dari pasar domestik. Caranya, dengan menjaga agar besarnya tingkat suku bunga tetap menarik di mata investor, menciptakan stabilitas politik dan ekonomi, serta menjaga konsistensi kebijakan agar investor merasa nyaman dan tenang karena kebijakan tidak berubah-ubah.
Selain itu, mitigasi yang lebih kompleks menurut dia yang bisa dilakukan otoritas fiskal dan moneter yaitu membuat lingkungan berbisnis lebih kondusif agar investor betah di Indonesia, menjaga biaya berbisnis di Indonesia rendah agar investasi tetap efisien dan mudah, serta, memberi akses berbagai kebutuhan yang diperlukan investor.
Analis HFX BErjangka Adhy Pangestu turut optimistis dana asing akan kembali masuk dan berlimpah ke Tanah Air usai sikap dovish The Fed. "Sikap Fed saat ini sangat tepat dan secara umum menunjukkan kondisi yang akomodatif dan sesuai," ujar Adhy kepada Katadata.co.id.
Maka dari itu, Adhy berharap BI bisa terus memperhatikan kebijakan The Fed maupun bank sentral negara lainnya. Ini karena akan berpengaruh terhadap modal asing maupun nilai tukar rupiah. "Dengan ini suku bunga BI sepertinya belum akan berubah, masih dalam mode wait and see," katanya.
Di sisi lain, Direktur Riset Center Of Reform on Economics Piter Abdullah Redjalam menilai adanya kemungkinan BI akan kembali menaikkan suku bunga acuan. Spread yield yang lebih lebar, menurut dia, dapat menahan modal asing keluar dari RI."Kebijakan itu agar spread yield kembali melebar," ujar Piter kepada Katadata.co.id.