Ramalan BI soal Tapering Off The Fed dan Siasat Mengantisipasinya

Agustiyanti
30 Juni 2021, 10:44
tapering off, tapering off the fed, bank sentral AS, Bank Indonesia, taper tantrum
ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memastikan BI terus melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah.

"Perubahan kebijakan moneter kemungkinan baru pada awal 2022 dan dimulai dari pengurangan likuiditas sebelum kenaikan BI rate," kata Perry.

Ia mengatakan, pihaknya akan turut memperkuat sinergi kebijakan, khususnya dengan pmerintah di bidang moneter, fiskal, dan struktural, maupun Komite Stabilitas Sistem Keuangan di bidang makroprudensial dan mikroprudensial.

Dari sisi kebijakan makroprudensial, menurut Perry, BI tetap akan akomodatif dengan melanjutkan kebijakan makroprudensial longgar untuk mendorong kredit dan pertumbuhan ekonomi. Bank sentral juga akan mendorong inovasi kebijakan makroprudensial longgar lanjutan untuk mendorong sektor prioritas dan UMKM.

Sementara dari sisi kebijakan digitalaisasi pembayaran, BI akan mengakselerasi digitalisasi sistem pembayaran, mengembangkan infrastruktur pasar keuangan dan sistem pembayaran, serta mendorong efisiensi dan daya saing industri.

Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya mengatakan pemerintah akan terus mewaspadai dampak dari kebijakan Bank Sentral AS terutama kepada pasar surat berharga negara. Tren perubahan kebiijakan The Fed dapat memicu aliran modal asing yang masuk ke Indonesia berkurang dan menyebabkan pelemahan rupiah. Ini dapat membuat surat utang Indonesia tidak menarik lagi di mata investor.

"Sinyal perubahan kebijakan AS membuat yield obligasi AS naik dari 1% pada Januari 2021 menjadi 1,7% pada Maret 2021, kenaikannya 70%. SBN kita juga mengalami tekanan tetapi lebih rendah dari yield obligasi AS," katanya bulan lalu. 

Meski belum sepenuhnya pasti, sinyal pengetatan kebijakan The Fed membuat arus modal asing keluar dari pasar-pasar negara berkembang di Asia pada bulan lalu.

Berdasarkan data Institute of International Finance, investor asing menjual US$500 juta atau setara Rp 7,15 triliun (asumsi kurs Rp 14.300 per dolar AS) lebih banyak saham dan obligasi daripada yang mereka beli di pasar negara berkembang Asia pada Mei. Ini menandai arus keluar bersih pertama sejak Desember tahun lalu. Sementara jika mengecualikan Tiongkok, arus modal keluar melonjak menjadi US$10,8 miliar atau setara Rp 154 triliun.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...