Indonesia Kantongi Pinjaman ADB Rp 7,08 T untuk Dukung Kemudahan Usaha
Asian Development Bank (ADB) menyetujui pinjaman berbasis kebijakan senilai $500 juta atau setara Rp 7,08 triliun kepada pemerintah Indonesia. Pinjaman ini diberikan untuk mendukung upaya Indonesia mendorong lingkungan usaha kompetitif dan ramah investasi, serta mempercepat pemulihan ekonomi Indonesia dari pandemi Covid-19.
Direktur ADB untuk Manajemen Publik, Sektor Keuangan, dan Perdagangan di Asia Tenggara Jose Antonio Tan III menjelaskan, pinjaman ini merupakan salah satu aspek dalam program ADB, yakni daya saing, modernisasi industri, dan akselerasi perdagangan. Pinjaman ini akan mendukung upaya reformasi Indonesia yang sedang berjalan untuk mempermudah langkah-langkah memulai usaha, menarik investasi asing langsung bagi sektor manufaktur, dan menyederhanakan transaksi lahan bagi investor.
Pinjaman ini juga bertujuan untuk membantu pemerintah meningkatkan layanan logistik, memfasilitasi perdagangan, mendorong penciptaan lapangan kerja, serta memberi insentif bagi perusahaan dalam mengadopsi teknologi baru dan meningkatkan keterampilan pekerja.
“Pinjaman ini berbasis kebijakan yang diiringi oleh bantuan teknis dan pertukaran pengetahuan, didesain agar menjadi bagian penting dari strategi pemerintah melakukan pemulihan pascapandemi Covid-19,” ujar Tan dalam keterangan pers, Jumat (29/10).
Tan menjelaskan, program ADB ini juga akan membantu Indonesia menciptakan lingkungan yang ramah investasi, memfasilitasi perdagangan, dan membangkitkan dunia usaha. Program ini mendukung pelaksanaan strategi kemitraan ADB untuk Indonesia periode 2020–2024, khususnya dalam mempercepat pemulihan ekonomi melalui reformasi.
Menurut Tan, Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah, angkatan kerja yang muda, dan pasar domestik yang besar. Namun, rata-rata pertumbuhan ekonomi masih berkisar di 5%, bahkan mencatatkan kontraksi pertama pada 2020 sejak krisis moneter 1998. Adapun Indonesia perlu nencapai tingkat pertumbuhan tahunan sekitar 7% agar mampu mencapai target untuk pulih dari pandemi dan menjadi negara berpenghasilan tinggi pada 2045.
Untuk itu, menurut dia, Reformasi struktural juga diperlukan demi mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat, lebih inklusif, dan berkelanjutan. Sebagian besar pertumbuhan ekonomi Indonesia masih didorong oleh ekspor komoditas, sehingga perekonomian akan terimbas jika perdagangan komoditas memburuk.
Sementara itu, porsi manufaktur dalam ekonomi Indonesia turun menjadi 20% pada 2019 dari sebelumnya 32% pada 2002. Adapun investasi swasta juga masih terkonsentrasi pada sektor sumber daya dan perekonomian digital, sehingga berdampak pada terbatasnya penciptaan lapangan kerja.
Untuk mengatasi berbagai kendala pertumbuhan tersebut, pemerintah baru-baru ini melakukan reformasi penting yang luas guna mendorong investasi, menyederhanakan birokrasi, dan mempercepat pembangunan sumber daya manusia. Pemerintah juga bermaksud meningkatkan efisiensi logistik dan perdagangan, serta produktivitas perusahaan.
Reformasi tersebut akan menurunkan hambatan bagi investor, mengurangi biaya dan meningkatkan transparansi bagi sektor swasta, meningkatkan daya saing, serta memfasilitasi pertumbuhan dunia usaha.
Program Daya Saing, Modernisasi Industri, dan Akselerasi Perdagangan yang diusung ADB juga berupaya meningkatkan kesetaraan gender, dengan meningkatkan pengumpulan data pada usaha milik perempuan serta meningkatkan partisipasi perempuan dalam kegiatan usaha dengan pemerintah. Dengan mendukung rencana pembangunan jangka menengah, program ini selaras dengan sasaran iklim pemerintah, atau kontribusi yang ditentukan secara nasional, berdasarkan Kesepakatan Paris.
Sementara itu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, utang pemerintah sebesar Rp 6.625,43 triliun pada Agustus 2021. Angka ini setara dengan 40,85% terhadap produk domestik bruto (PDB).