Tapering Off The Fed Makin Dekat, Rupiah Bisa Terpuruk Rp 14.700/US$

Image title
Oleh Abdul Azis Said
4 November 2021, 16:29
tapering off, rupiah, the fed
Adi Maulana Ibrahim|Katadata
Petugas menunjukkan uang rupiah dan dolar AS di Kantor Cabang Plaza Mandiri, Jakarta, Rabu (18/3/2020).

Bank sentral Amerika Serikat The Federal Reserve (The Fed) mengumumkan tapering off alias pengetatan stimulasi dalam waktu dekat. Agenda ini diperkirakan akan mendorong pelemahan pada nilai tukar rupiah sekalipun dampaknya tidak akan separah tapering The Fed sebelumnya.

The Fed dalam rapat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) pada Rabu (3/11) dini hari mengumumkan tapering off berupa pengurangan pembelian aset yang akan dimulai akhir bulan ini. Selama ini The Fed rutin memborong aset pemerintah senilai US$ 120 miliar, terdiri atas US$ 80 miliar melalui US Treasury dan US$ 40 miliar di sekuritas beragun hipotek.

Langkah tapering akan mengurangi pembelian aset pemerintah AS tersebut masing-masing US$ 10 miliar di US Treasury dan US$ 5 miliar di sekuritas beragun hipotek. Pengurangan pembelian akan rutin setiap bulan dengan besaran yang sama, hingga akhirnya mengakhiri pembelian pada pertengahan tahun depan. Pasar mengantisipasi setelah masa itu The Fed akan mulai menaikkan suku bunga.

Analis pasar uang Ariston Tjendra mengatakan, dampak tapering tidak akan langsung. Berdasarkan pola sebelum-sebelumnya, pelemahan nilai tukar akibat tapering The Fed secara bertahap, dan akan semakin melemah setelah kenaikan bunga acuan.

Ia mengatakan untuk saat ini rupiah kemungkinan masih akan berkonsolidasi. Fundamental ekonomi domestik menurutnya mulai membaik, terlihat dari tren surplus perdagangan yang terus berlanjut. Kondisi itu menurutnya bisa mengungkit rupiah hingga Rp 14.000 per dolar AS.

"Tetapi risiko terburuknya untuk rupiah itu bisa kembali ke Rp 14.500-Rp 14.700 per dolar AS," kata Ariston kepada Katadata.co.id, Kamis (4/11).

Selain itu, risiko pelemahan nilai tukar juga apabila neraca dagang kembali ke tren defisitnya. Ia mengatakan risiko defisit masih tinggi mengingat surplus saat ini didorong oleh kenaikan harga komoditas.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca dagang pada September kembali surplus US$ 4,37 miliar, masih cukup tinggi sekalipun tidak sebesar bulan sebelumnya. Ekspor turun 3,84% menjadi US$ 20,6 miliar, sedangkan impor turun 2,67% menjadi US$ 16,23 miliar.

"Tapi ini surplusnya juga karena 'durian runtuh' oleh kenaikan harga komoditas, sehingga masih riskan. Ini bisa berubah jadi defisit apabila tiba-tiba tahun depan rantai pasok sudah membaik dan harga turun," kata Ariston.

Selain sentimen potensi defisit neraca dagang, tapering off juga mendorong kenaikan pada yield obligasi pemerintah AS. Pada perdagangan kemarin, yield US Treasury tenor 10 tahun ditutup di level 1,6%, yang merupakan level tertinggi setelah konsisten di kisaran 1,5% sepekan terakhir.

Ariston mengatakan usai pengumuman tapering off The Fed, yield US Treasury tenor 10 tahun berpotensi kembali naik ke kisaran 1,7%. Beberapa pekan lalu US Treasury juga sempat menyentuh level ini usai notulensi rapat The Fed dirilis dan menunjukkan rencana tapering off paling cepat pertengahan November atau Desember.

"Kalau yield US Treasy bertahan di atas 1,6% dan naik 1,7%, dolar akan jadi lebih menarik dan mendorong mereka (investor) pindah ke aset obligasi pemerintah AS, sehingga ini akan mendorong pelemahan nilai tukar regional termasuk rupiah," kata dia.

Sementara itu, kondisi di pasar Surat Berharga Negara (SBN) juga diperkirakan tidak banyak terpengaruh. Usai pengumuman tapering tersebut, pasar diperkirakan akan kembali masuk ke pasar obligasi.

"Capital outflow beberapa minggu lalu mungkin karena antisipasi pasar, karena menjelang tapering biasanya investor keluar sementara dari pasar aset berisiko, nanti masuk lagi setelah selesai," ujarnya.

Pasar SBN akan berangsur normal seiring pengumuman tapering off yang sesuai prediksi pasar, yakni pengurangan pembelian aset senilai US$ 15 miliar.

Selain itu, ia juga melihat tren penerbitan surat utang pemerintah Indonesia beberapa pekan terakhir juga masih diminati investor. Kondisi ini menunjukkan ekspektasi terhadap fundamental ekonomi domestik masih cukup baik.

Senada dengan Ariston, Ekonom Bank Permata Josua Pardede juga memperkirakan dampak tapering off ke pasar SBN tidak akan begitu signifikan. Hal ini karena kepemilikan asing di dalam surat utang pemerintah terpantau sudah mencapai level yang sangat rendah.

"Berbeda pada 2013 capital outflow menyebabkan kepemilikan asing turun dari 30% menjadi 25% itukan signifkan, kalau sekarang mungkin hanya akan turun dari sekitar 21% saat ini, mungkin bisa ke 19%," kata Josua.

Seiring porsi asing yang semakin minim, Josua menilai potensi capital outflow di pasar SBN akan semakin minim. Dengan demikian efeknya terhadap pasar keuangan juga akan semakin kecil. Di sisi lain, kepemilikan oleh domestik terutama perbankan dinilai akan mengkompensasi jika porsi investor asing semakin berkurang.

Selain itu, ia melihat investor domestik juga semakin solid. Hal ini seiring ekspektasi terhadap fundamental ekonomi yang terus membaik. Ia menyebut posisi cadangan devisa yang semakin tinggi dapat menjadi faktor peredam dampak tapering.

"BI sudah menyiapkan berbagai kebijakan kerja sama pertukaran mata uang asing hingga kebijakan triple intervention, sehingga kekhawatiran taper tantrum mudah-mudahan tidak akan terjadi pada tapering kali ini," kata Josua.

Riset yang dibuat Bank Mandiri memperkirakan selain memulai pengurangan pembelian aset, The Fed juga akan menaikkan bunga acuannya mulai tahun depan. Meski begitu, exit policy ini diperkirakan tidak akan mendorong Bank Indonesia (BI) latah untuk ikut memperketat kebijakan moneternya.

"Kami memperkirakan BI masih akan mempertahankan kebijakan BI-7DRRR di rekor terendahnya sepanjang sejarah hingga akhir tahun ini," tulis Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman dalam laporan terbaru yang diterima Katadata.co.id.

Faisal menilai, mempertahankan suku bunga rendah masih dibutuhkan sebagai langkah penting untuk mendukung pemulihan ekonomi di tengah tekanan pandmei yang belum berakhir. Tetapi tanpa meninggalkan pentingnya menjaga stabilitas pasar keuangan dan nilai tukar rupiah.

Faisal memperkirakan suku bunga acuan 3,5% masih akan dipertahankan hingga beberapa bulan mendatang. Ia memperkirakan BI akan mulai menaikkan 50 basis poin (bps) menjadi 4% pada BI7DRRR mulai paruh kedua 2022.

Reporter: Abdul Azis Said
Editor: Yuliawati

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...