Rupiah Menguat ke 14.200 per US$ Didorong Ekspektasi Surplus Dagang

Abdul Azis Said
15 November 2021, 10:10
neraca dagang, neraca perdagangan, rupiah, rupiah hari ini
ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
Rupiah diperkirakan menguat seiring prospek surplus neraca dagang pada Oktober yang diperkirakan turun dibandingkan bulan sebelumnya.

Selain itu, sentimen pengungkit rupiah lainnya yakni membaiknya sentimen pasar terhadap aset beriko. Ini tercermin dari kenaikan indeks saham utama global baik pada penutupan indeks di AS dan Eropa akhir pekan lalu maupun pergerakan indeks saham Asia pagi ini.

"Membaiknya pendapatan perusahaan menjadi cerminan perbaikan ekonomi di masa pandemi yang mendorong pelaku pasar masuk kembali ke aset berisiko," kata Ariston.

Sejumlah perusahaan merilis kinerja kuartal ketiga yang menjanjikan pekan lalu. Airbnb melaporkan pendapatan US$ 2,24 miliar, naik 67% secara tahunan. PayPal mencatat pendapatan US$ 6,18 miliar, naik 13% secara tahunan. Disney melaporkan pendapatan sebesar US$ 18,53 miliar, naik 26,02% dari tahun lalu.

Indeks utama AS ditutup menguat pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu. Dow Jones Industrial menguat 0,5%, S&P 500 sebesar 0,72% dan Nasdaq Composite 1%. Indeks utama Eropa yang menguat yakni DAX Jerman sebesar 0,07% dan CAC 40 Perancis 0,45%.

Indeks saham Asia mayoritas menguat. Nikkei 225 Jepang menguat 0,56%, Shanghai Composite Cina 0,1%, Hang Seng Hong Kong 0,48%, Kospi Korea Selatan 1,07%, Taiwan Taiex 0,71%. Sedangkan Strait Times Singapura stagnan dan IHSG terkoreksi 0,6%.

Senada, analis pasar uang Bank Mandiri Rully Arya Wisnubroto juga memperkirakan rupiah akan menguat seiring ekspektasi neraca dagang yang akan kembali cetak surplus. Rupiah diramal menguat di kisaran Rp 14.208 per dolar AS, dengan potensi pelemahan di Rp 14.275.

Meski begitu, Rully mengatakan pergerakan rupiah masih akan dibayangi oleh sentimen global terutama tekanan inflasi. "Dari eksternal terutama inflasi memang sentimennya masih negatif," kata Rully kapada Katadata.co.id.

Pasar terutama mengantisipasi lonjakan inflasi di dua perekonomian terbesar dunia, AS dan Cina. Rully mengatakan, tekanan inflasi di AS turut mendorong sentimen tapering off bank sentral kembali menguat. Pasar memperkirakan bank sentral akan menaikkan bunga acuan lebih cepat yakni pada akhir tahun 2022.

Di sisi lain, Cina juga mencatatkan inflasi tinggi, terutama pada harga-harga di tingkat produsen. Inflasi di Cina ini dikhawatirkan mempengaruhi prospek pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung di negeri panda itu. Seiring perlambatan tersebut kekhawatiran terutama pada efek limpahannya ke sejumlah negara mitranya, termasuk Indonesia.

Halaman:
Reporter: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...