Rupiah Berhasil Menguat Meski Modal Asing Kabur Rp 3 T
Bank Indonesia (BI) mencatatkan modal asing keluar dari pasar keuangan domestik mencapai Rp 3,23 triliun dalam sepekan terakhir. Meski demikian, kurs rupiah berhasil menutup pekan di posisi Rp 14.443 per dolar AS, menguat 0,35% dibandingkan akhir pekan lalu setelah sempat anjlok karena kekhawatiran varian Omicorn.
Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono menjelaskan, asing mencatatkan jual neto di pasar Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 8,08 triliun, tetapi beli neto di pasar saham Rp 4,85 triliun.
"Berdasarkan data setelmen sejak awal tahuun 2021, terdapat nonresiden jual neto Rp 45,91 triliun," kata Erwin dalam keterangan remsinya, Jumat (10/12).
Tingkat premi risiko investasi atau credit default swap (CDS) Indonesia tenor lima tahun relatif stabil di level 78,39 basis poin per 9 Desember. Ini turun dari 3 Desember sebesar 86,64 bps.
Imbal hasil alias yield untuk surat utang pemerintah tenor 10 tahun juga stabil pada level 6,28%. Sementara yield surat utang pemerintah AS tenor 10 tahun naik ke level 1,49%.
Sekalipun capital outflow berlanjut minggu ini, tetapi rupiah masih berhasil menguat. Mengutip Bloomberg, nilai tukar ditutup di level Rp 14.371 per dolar AS, menguat 0,35% dari posisi pekan lalu.
Analis pasar uang Bank Mandiri Rully Arya Wisnubroto mengatakan, volatilitas nilai tukar cenderung masih tinggi dalam sepekan terakhir. Hal ini terlihat dari pergerakan rupiah yang sempat anjlok hingga Rp 14.443 per dolar AS di awal pekan. Namun, kondisinya mulai berbalik terutama seiring kekhawatiran terhadap varian Omicron mulai mereda.
"Beberapa pekan lalu Omicron menimbulkan pelemahan pada nilai tukar, tapi dalam beberapa hari terakhir mulai ada sedikit perkembangan positif yang menyatakan bahwa gejala Omicron lebih ringan," kata Rully kepada Katadata.co.id, Jumat (10/12).
Kekhawatiran terhadap penyebaran Omicron sempat meningkat terutama pada akhir pekan lalu. Tekanan mulai mereda setelah sejumlah laporan mengklaim bahwa varian baru Covid-19 ini memiliki gejala ringan. Namun, studi lain juga memperingatkan bahwa tingkat penularannya berkali lipat lebih cepat dari varian lainnya.
Sentimen negatif juga mulai mereda karena pasar tampaknya melihat bahwa pemerintah AS kemungkinan tidak akan memberlakukan lockdown sekalipun ada varian Omicron. Sementara dari dalam negeri, keputusan pemerintah membatalkan PPKM Level 3 di akhir tahun juga memberi sentimen positif terhadap rupiah.
Di samping itu, penguatan rupiah yang terutama terjadi di pertengahan minggu ini juga didorong rilis cadangan devisa yang kembali naik. Bank Indonesia melaporkan, cadangan devisa bulan November sebesar US$ 145,9 miliar, kenaikan dari bulan sebelumnya US$ 145,5 miliar.
Namun, penguatan rupiah mulai terhenti memasuki akhir pekan. Rully mengatakan, rupiah hari ini bergerak melemah tertekan penantian pasar terhadap rilis data inflasi Amerika yang akan diumumkan malam ini. Wall Street memperkirakan inflasi November akan kembali naik menjadi 6,7% secara tahunan, tertinggi dalam 40 tahun terakhir.
"Ini juga kemungkinan akan berdampak di pekan depan, volatilitas akan kembali naik sehingga dampaknya pada depresiasi nilai tukar rupiah," kata Rully.
Pasar mengantisipasi kenaikan inflasi yang berlanjut akan mendorong bank sentral AS semakin yakin untuk mempercepat tapering off atau pengetatan stimulusnya. The Fed berjanji akan membahas recana percepaatn tapering off ini dalam pertemuan pekan depan. Sementara data inflasi ini menjadi salah satu indikator The Fed untuk mempertimbangkan kebijakan moneternya.
Meski begitu, Rully melihat rupiah tidak akan jatuh terlalu dalam mengingat Badan Pusat Statistik juga akan merilis data neraca dagang November pada pekan depan. Neraca dagang diperkirakan masih bisa surplus tinggi, dengan demikian ini akan membantu menahan agar rupiah tidak terkoreksi terlalu dalam.