Indonesia Masuk Lagi Radar Investor Asing sebagai Negara Menjanjikan

Dicky Christanto W.D
Oleh Dicky Christanto W.D - Tim Riset dan Publikasi
6 April 2022, 16:58
Telaah - pasar saham turun karena minyak dan virus corona
123RF.com/Daniil Peshkov
Ilustrasi pasar keuangan

Di tengah pergumulan dengan infeksi Covid-19 yang belum usai selama dua tahun terakhir ini, panggung internasional kembali dikejutkan oleh serangan militer Rusia ke Ukraina di akhir Februari lalu.

Saat ini, proses perdamaian antar kedua negara tengah berlangsung, meskipun ancaman konflik tetap mengintai. Beragam masalah telah terlanjur terjadi akibat konflik bersenjata itu, seperti terganggunya rantai pasok dan meroketnya harga beberapa komoditas dunia.

Dunia yang tengah bergejolak pastilah menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi semua orang. Terlebih para pengusaha dan investor yang mendambakan kestabilan untuk melanggengkan keberlangsungan usahanya.

Guna menelisik lebih jauh, mengenai situasi dan kondisi yang menawarkan kepastian, PT Manulife Aset Manajemen Indonesia, bekerja sama dengan Katadata, mengadakan diskusi daring Market Outlook 2022, bertajuk Seizing Opportunities Amidst Uncertainty, yang diadakan Selasa (5/4/2022) di kanal Katadata.

CEO dan Presiden Direktur PT Manulife Aset Manajemen Indonesia, Afifa menggugah optimisme dengan mengatakan bahwa saat ini waktu yang tepat untuk memetakan kondisi dan melihat sesuatu yang bakal terjadi.

“Di tengah berbagai konflik, tetap ada berbagai kesempatan yang bisa dimanfaatkan,” ujar Afifa saat membuka diskusi daring tersebut.

PT Manulife Aset Manajemen Indonesia, biasa dikenal sebagai MAMI, merupakan manajer investasi terbesar di Indonesia saat ini. Sejak Desember 2021, MAMI tercatat mengelola dana masyarakat sebesar Rp 113,4 trilliun.

Head of Macro Strategy, Asia, Manulife Investment Management Sue Trinh mengakui bahwa banyak masalah terjadi di level global pada saat bersamaan, sehingga membuat kejelian pengamatan memainkan peran penting bagi para investor dalam mencermati situasi yang ada.

Ia memproyeksikan bahwa beberapa bank sentral juga akan merespons kebijakan tapering off yang dibuat oleh bank sentral Amerika, Federal Reserves (The Fed), secara lebih agresif.

Kebijakan yang lebih agresif dipandang perlu dilakukan untuk mencegah taper tantrum kembali terjadi, seperti pada 2013, yang terbukti merontokan nilai mata uang banyak negara.

Sue juga menilai bahwa stagflation akan menjadi tema besar pada tahun ini, mengingat banyak negara tengah berkutat menurunkan inflasi, tingkat pengangguran dan berusaha memperbaiki tingkat pertumbuhan ekonomi.

“Akan tetapi, beberapa negara Asia, seperti Indonesia memiliki kesempatan yang menjanjikan,” ujarnya.

Katarina Setiawan, Chief Economist and Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia, salah satu pembicara yang hadir, mengkonfirmasi perihal peluang tersebut.

Bahkan, lebih jauh ia  menyatakan bahwa Indonesia saat ini kembali masuk dalam radar para investor asing sebagai negara yang menjanjikan.

“Tidak seperti kondisi perekonomian banyak negara lain yang dianggap belum pulih, kondisi perekonomian Indonesia dipandang lebih stabil,” ujar dia.

Katarina juga menambahkan bahwa Indonesia dan beberapa negara lainnya di kawasan Asia dianggap anomali, karena tetap memiliki berbagai peluang menjanjikan di tengah kondisi global yang kurang menguntungkan.

Sebagai contoh fenomena melonjaknya harga berbagai macam komoditas sebagai akibat dari rantai pasok yang terganggu.

Batu bara merupakan komoditas yang berada pada urutan pertama yang mengalami lonjakan harga, hingga 135,8 persen. Disusul oleh CPO dengan 51,6 persen dan minyak mentah dengan 42,7 persen.

Indonesia, sebagai produsen CPO terbesar di dunia dan produsen batu bara terbesar ketiga dunia, tentunya mendapatkan manfaat berupa penguatan fundamental ekonomi.

Katarina melanjutkan, saat ini, Indonesia memiliki empat faktor fundamental kuat sehingga mampu menyokong stabilitas perekonomian.

Faktor pertama, cadangan devisa yang solid, yang bertengger pada US$ 141,4 milliar per Februari 2022. Lalu kedua, nilai tukar rupiah yang stabil, berada pada level sekitar Rp 14,000 sejak awal tahun.

Penyangga ketiga, surplus perdagangan yang tinggi. Surplus perdagangan Indonesia 2021 tercatat pada US$ 35, 34 miliar, sebagai yang tertinggi dalam 15 tahun terakhir.

Lalu yang keempat, peningkatan ekspor, yang tercatat pada Agustus 2021 lalu mencapai US$ 21,42 miliar. Hal ini menyiratkan bahwa pemulihan ekonomi Indonesia makin mendapatkan momentumnya.

Sementara itu, laju penurunan impor juga berlangsung konsisten, dengan nilai impor per Februari 2022 tercatat pada US$ 16,64 miliar, turun sebesar 8,64 persen dibanding Januari 2022.

Berdasarkan perhitungan pemerintah, pada periode 2021 hingga 2023, ekonomi Indonesia akan mampu bertumbuh 3 persen, 5,6 persen dan 6 persen.

Pada saat bersamaan, berkembangnya ekonomi hijau juga menghadirkan peluang yang cukup besar bagi Indonesia untuk meningkatkan tingkat perekonomiannya.

Indonesia saat ini tengah membangun pembangkit listrik dari energi terbarukan seperti sinar Matahari, Angin dan Air (Hidrogen).

Tidak hanya itu, Equity Research Analyst dari Credit Suisse Indonesia Timothy Handerson, menyatakan bahwa di masa depan, kocek Indonesia akan bertambah tebal seiring bertambah strategisnya nilai komoditas seperti tembaga dan nikel.

“Dua komoditas ini akan memainkan peran sangat vital bagi pertumbuhan ekonomi hijau, seperti nikel yang adalah merupakan kompenen utama dari baterai kendaraan elektrik,” ujar Timothy.

Selain itu, tambah Timothy, investor masih akan tetap melirik sektor properti dan batu bara sebagai salah satu sektor pembawa keuntungan. Keberhasilan pemerintah dalam menentukan kebijakan akan berdampak langsung bagi iklim investasi.

Erwin Ginting, Kepala sub-direktorat Perencanaan dan Strategi Pembiayaan pada Kementerian Keuangan, mengakui bahwa Indonesia berada pada posisi yang cukup strategis dengan banyaknya peluang yang menjanjikan.

Erwin menambahkan bahwa hal ini tentunya menjadi sejalan dengan langkah pemerintah yang tengah bersiap untuk tancap gas, untuk memacu pertumbuhan ekonomi.

Salah satunya, ujar Erwin, saat ini kementerian keuangan telah menargetkan angka defisit APBN berada di bawah 4,85 persen. Hal ini akan berguna untuk konsolidasi fiskal pada 2023.

Tidak hanya sibuk menekan anggaran, pemerintah juga berjanji akan tetap memperhatikan pembiayaan UMKM supaya lebih berkembang.

“Berbagai strategi pembiayaan, terutama terhadap UMKM, juga akan segera dilakukan guna mendorong momentum,” ujarnya.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...