Gurita Bisnis Sjamsul Nursalim, Taipan yang Bayar Lunas Utang BLBI

Tia Dwitiani Komalasari
16 Juni 2022, 11:01
Sjamsul Nursalim tersangka kasus BLBI, saat datang ke gedung Bundar Kejaksaan Agung untuk menjalani pemeriksaan, Jakarta, 9 April 2001.
TEMPO/ Bernard Chaniago
Sjamsul Nursalim tersangka kasus BLBI, saat datang ke gedung Bundar Kejaksaan Agung untuk menjalani pemeriksaan, Jakarta, 9 April 2001.

Sjamsul Nursalim tercatat telah melunasi utang Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai Rp 517,7 miliar kepada negara. Pelunasan utang tersebut dilakukan dua kali pada November 2021 dan Juni 2022.

"Pembayaran ke kas negara dilakukan melalui Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) Cabang DKI Jakarta," kata Ketua Satgas BLBI Rionald Silaban dalam keterangan tertulisnya, Rabu (15/6).

Rio menjelaskan bahwa pembayaran tersebut diberikan setelah Satgas BLBI melakukan penagihan  sejak tahun lalu. Pada 18 November tahun lalu, Sjamsul mencicil utangnya sebesar Rp 150 miliar. 

Sjamsul kemudian melakukan pembayaran kedua senilai Rp 367,7 miliar. Dengan tambahan pembayaran kedua ini, total utang BLBI Sjamsul kepada negara menjadi lunas, termasuk biaya administrasi pengurusan piutang negara sebesar 10%.

Bisnis Sjamsul Nursalim

Sjamsul Nursalim masuk dalam 50 orang terkaya di Indonesia versi Forbes 2021. Dia berada di urutan 47 dengan perkiraan kekayaan mencapai US$ 880 juta.

Sjamsul besar di lingkungan pengusaha. Ayahnya pernah mendirikan pabrik penggilingan karet di Teluk Betung, Lampung pada 1951. Latar belakang ini menginspirasi pria kelahiran Lampung tersebut untuk memulai kariernya di industri pengolahan karet.

Dia kemudian bergabung dengan perusahaan yang memproduksi ban luar dan ban dalam sepeda, NV Hok Thay Hin. Perusahaan inilah yang menjadi cikal bakal PT Gajah Tunggal Tbk yang diketahui memulai kegiatan usaha komersialnya pada 1953.

Sjamsul kemudian megembangkan usahanya ke bisnis properti, batu bara, dan ritel. Dia memiliki 51% kepemilikan  saham di perusahaan ritel Mitra Adiperkasa. Perusahaan ini merupakan pemegang hak penjualan 150 merek ritel di Indonesia seperti Zara, Starbucks, Reebok, Sogo, Topshop, Steve Madden. Jumlah toko ritel perusahaan ini telah mencapai lebih dari 2.000 unit.

Perusahaan yang didirikan pada 1994 tersebut melakukan penawaran saham pertamanya pada 10 November 2004 dengan kode saham MAPI. Saat itu, sebanyak 500 juta lembar saham ditawarkan ke publik dengan harga Rp 625 per saham.

Salah satu anak Sjamsul adalah Susanto Nursalim atau William Liem. Dia sejak lama disiapkan oleh Sjamsul untuk menjadi “putra mahkota” dari gurita bisnis keluarga. Alumnus University of California Berkeley, AS itu menjadi executive director Tuan Sing Holdings, perusahaan induk yang memayungi 80 anak perusahaan dan tercatat sebagai emiten di Stock Exchange of Singapura (SSX).

Tuan Sing Holding adalah perusahaan yang cukup disegani di Singapura. Salah satu anak perusahaannya yang bergerak di sektor properti, Habitat Properties Ltd, adalah developer beberapa proyek prestisius, seperti Century Woods, University Park, Reservoir Villas, Royal Court, Anderson Greendan, dan St Martin Residence.

Istri Sjamsul Nursalim, Itjih Sjamsul Nursalim atau Go Giok Lian, tercatat dalam daftar pemegang saham Tuan Sing yang juga mengendalikan Nuri Holding Ltd. Perusahaan terakhir itu dikendalikan putri Sjamsul Nursalim, Liem Mei Kim. Dari data laporan keuangan terakhir yang dipublikasikan per Februari 2007, Tuan Sing memiliki total aset Sing$ 574,6 juta, total pendapatan Sing$ 425 juta dan laba bersih Sing$ 14,3 juta.

Pada 1980-an, Sjamsul menjadi Direktur Utama BDNI dengan mengantongi 50 % kepemilikan saham. Adapun sisa saham dimiliki PT Nusantour Duta Development Corporation dan Djaya Development Corporation milik Hamengkubuwono IX. BDNI pertama kali didirikan di Medan pada 1945. dan menjadi Bank Devisa pada 1955.

Bank ini juga pernah bekerja sama dengan PT Asuransi Binadaya Nusa Indah untuk menyediakan asuransi bagi para deposan, serta dengan PT Telkom dan Perusahaan Listrik Negara dalam pembayaran listrik dan telepon. Selain itu, BDNI pernah bekerja sama dengan Bank asal Jepang, Dai-Ichi Kangyo Bank Ltd dan mendirikan perusahaan bernama PT Bank Dai-Ichi Kangyo Indonesia.

Namun demikian, perjalanan bisnis BDNI tak berjalan mulus. Pada krisis moneter 1997-1998, Bank Indonesia (BI) mengeluarkan dana bantuan yang dinamakan BLBI kepada sejumlah bank yang hampir bankrut, termasuk BDNI.

Bank tersebut saat itu berstatus Bank Beku Operasi dan membutuhkan suntikan pemerintah untuk pulih. BDNI diketahui telah menerima saluran dana BLBI sebesar Rp 37,04 triliun.

Data Kementerian Keuangan menyebutkan ada sebanyak 20 konglomerat yang masih memiliki kewajiban hak tagih pemerintah terkait pengucuran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Total kewajiban para taipan tersebut sebesar Rp 30,43 triliun pada Desember 2020. 

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...