Anies Kritik Pembangunan IKN Timbulkan Ketimpangan, Ini Kata Ekonom
Calon presiden (capres) nomor urut satu, Anies Baswedan mengkritik pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimatan Timur karena dinilai akan menimbulkan ketimbangan baru dengan daerah - daerah di sekitarnya.
Pandangan tersebut disampaikan Anies saat hadir dalam acara Dialog Terbuka Muhammadiyah di Universitas Muhammdiyah Surakarta, Jawa Tengah pada Rabu (22/11).
"Ketika tujuan membangun kota baru dan ibu kota baru adalah dengan alasan pemerataan, maka itu tidak menghasilkan pemerataan yang baru, mengapa? Karena itu akan menghasilkan sebuah kota baru yang timpang dengan daerah-daerah di sekitarnya," kata Anies dalam acara tersebut.
Dia menyebut, skor indeks pembangunan manusia di Jawa dan Sumatera berada di level 65% pada 2013. Namun skor tersebut baru dicapai wilayah Bali, Kalimantan pada 2022. Artinya, butuh waktu satu dekade bagi tiga wilayah tersebut meraih skor 69%.
"Bukan soal selisih itu 4 poin dan 5 poin. Tapi mengejar 5 poin itu satu dekade. Jadi ini ketimpangan, jika tidak dikoreksi, ini belum dimasukkan pertumbuhan ekonomi, lapangan pekerjaan, investasi serta indikator - indikator lainnya masukan satu saja. Ketimpangannya luar biasa," jelas Anies.
Anies menganalogikan, pembangunan satu kota di tengah hutan itu sesungguhnya menimbulkan ketimpangan yang baru. Ia menilai, pembangunan ibu kota baru itu tak berkaitan dengan tujuan pemerataan yang diharapkan.
“Kami melihat di sini problem, karena itu ini harus dikaji secara serius karena tujuan kita Indonesia yang setara, Indonesia yang merata, argumennya sama, tapi menurut kami langkahnya bukan dengan membangun satu kota, tapi justru dengan membesarkan seluruh kota yang ada di seluruh Indonesia," kata Anies.
Pernyataan tersebut mendapat tanggapan dari dua ekonom yakni Ekonom Senior INDEF Mohamad Fadhil Hasan dan Direktur Celios Bhima Yudhistira. Keduanya sepakat dengan Anies, bahwa pembangunan IKN akan menciptakan ketimpangan sosial baru karena hanya fokus pada satu kota.
Apalagi, pembangunan ibu kota baru tersebut diperkirakan menelan dana hingga US$ 35 miliar atau setara dengan Rp 500 triliun. Menurut Fadhil, argumen pemerataan dari pemerintah dinilai tidak masuk akal karena mengalokasikan dana begitu besar hanya untuk satu tempat.
"Alokasi dana itu harusnya ke beberapa daerah dan beberapa tempat. Argumen Pak Anies itu, ingin menciptkan pusat - pusat ekonomi baru, pusat - pusat kota baru di beberapa tempat baru. Bukan investasi di satu tempat, yang akan timbulkan ketimpangan baru dengan daerah lain," jelas Fadhil kepada Katadata, Kamis (23/11).
Tak hanya soal anggaran yang begitu besar, akses transportasi menuju Kalimantan Timur dengan wilayah lain juga masih sulit. Untuk menjangkau wilayah Kaltim tersebut, harus menggunakan moda transportasi udara dan laut.
Menurutnya, kondisi tersebut akan menghambat proses migrasi maupun perpindahan dari ibu kota lama maupun ke daerah lain. Fadhil bahkan memperkirakan pemindahan ibu kota ini tidak akan memberikan dampak besar bagi perkembangan di daerah - daerah sekitar Kalimantan.
Sementara Bhima melihat dampaknya pembangunan ibu kota ini akan memunculkan segregasi atau pemisahan kelompok sosial tertentu dalam masyarakar. Kemudian adanya gentrifikasi atau perpindahan penduduk kelas menengah ke kawasan baru sehingga berpotensi munculnya konflik dengan penduduk lokal.
"Sekarang sudah kelihatan, bagaimana konflik dengan masyarakat lokal. Misalnya soal pengadaan lahan IKN itu belum selesai, kemudian kita lihat investor yang membangun, investor berorientasi profit," ungkapnya.
Kata Bhima, jika berorientasi profit, maka akan memunculkan sekolah - sekolah mahal dan rumah sakit premium. Sehingga memunculkan pemisahan antara masyarakat lokal dengan pendatang baru yang ekonominya di level menengah bawah.
Tak hanya itu, ketimpangan juga akan muncul saat kontruksi pembangunan IKN. Bhima mempertanyakan berapa banyak serapan warga lokal, karena sebagian besar dari diambil dari Jawa dan wilayah lain di luar Kabupaten Penajam Paser Utara, Kaltim.
Bagi Bhima, kondisi ini akan menciptakan gap pendapatan dan ketimpangan yang begitu lebar. Apalagi, ASN juga akan pindah ke Kaltim, dengan dukungan gaji dan tunjangan di atas rata - rata penduduk lokal Kalimantan.
"Nah, ASN yang pindah ke IKN, belum lagi ditambah fasilitas dari pemerintah plus berbagai insetif, agar mau pindah ke IKN. Ini jelas akan memicu terjadinya ketimpangan pendapatan. Maka ketimpangan makin lebar antara IKN dengan daerah sekitarnya," jelasnya.
Kemudian muncul ketimpangan dari sisi usaha atau UMKM, yang seharusnya mendapat manfaat. Sebab, kontruksi besi baja sebagain impor dan sebagian didatangkan dari Jawa. Sementara pasir dan bahan material lain didatangkan dari Sulawesi.
Alhasil, kata Bhima, kondisi ini akan menciptakan ketimpangan baru jika pemerintah tidak melakukan perencanaan secara matang dan hanya berorientasi pada profit. Sementara alokasi Anggaran Pendapatan Belanja Negara atau APBN sudah terlalu besar.
"Beban juga bagi APBN. Nah, itu dilematisnya membangun IKN itu," tambahnya.
Sedangkan Fadhil, justru meminta pemerintah melakukan peninjauan ulang terkait pembanguna proyek IKN ini dengan melibatkan berbagai tim ahli yang kompeten serta sumber daya yang mumpuni agar tujuan pemerataan ekonomi tercapai.
"Kita tahu proses UU dan kebijakan IKN sangat tidak partisipatif. Tiba - tiba ada, tiba - tiba direvisi, jadi kita mau melakukan perbaikan ke depan. Mulai dari pertanyaan mendasar terkait proyek ini," tutupnya.