Diprotes Hotman Paris, Ini Dampak Kenaikan Pajak Hiburan hingga 75%
Akhir-akhir ini, pajak hiburan di sektor pariwisata menjadi bahan perbincangan di media sosial. Bahkan pengacara kondang, Hotman Paris, melalui unggahan akun instagramnya, memprotes pengenaan pajak hiburan di Bali yang mencapai 40% hingga 75%.
Pajak yang dimaksud adalah Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) khusus jasa hiburan pada bisnis diskotik, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap atau spa. Hal ini tertuang dalam Undang-undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).
Adapun aturan tersebut telah disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada 5 Januari 2022. Kemudian diundangkan pada tanggal yang sama, oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly.
Dalam Pasal 58 ayat 2 UU HKPD, disebutkan bahwa besaran PBJT atas jasa hiburan seperti diskotik, karaoke, kelab malam, bar dan mandi uap/spa, yang ditetapkan paling rendah 40%, dan paling tinggi 75%.
Besaran pokok pajak tersebut dihitung dengan mengalikan dasar pengenaan PBJT. Dalam hal ini, pemerintah daerah bertindak sebagai pemungut pajak, di mana beban pajak dikenakan kepada penyedia jasa dan konsumen.
Pajak Hiburan di Thailand dan Filipina
Menurut Pengamat Pajak Fajry Akbar, kenaikan pajak yang tinggi tersebut dapat berdampak pada sektor pariwisata di daerah. Kenaikan ini berpotensi mengurangi kunjungan turis mancanegara karena mereka lebih memilih negara lain dengan tarif pajak yang lebih rendah.
Fajry memberikan contoh Thailand. Bisnis diskotik dan hiburan sejenis di Thailand justru hanya dikenakan cukai dan tarif sebesar 5%. Sedangkan di Malaysia, masuk ke dalam service tax dengan tarif sebesar 6%.
Sementara di Filipina, dikenakan tarif PPN yang lebih tinggi. Filipina menggunakan sistem tarif PPN multi tarif. Tarif standar PPN Filipina sebesar 12%, sedangkan untuk diskotik dan sejenisnya 18%.
“Di Indonesia, diskotik, kelab malam, dan sejenisnya dikenakan pajak daerah. Dahulu tidak ada ketentuan tarif minimum, barulah di UU HKPD, ada batas minimum 40% untuk kelab malam, diskotik dan sejenisnya,” ujar Fajry kepada Katadata.co.id, Selasa (9/1).
Perbandingan tarif pajak yang sangat jauh antar negara lain, dapat mengurangi minat wisatawan mancanegara dan lokal untuk berwisata. Mereka akan lebih memilih pergi ke negara lain dengan tarif pajak yang lebih murah.
“Apalagi, [biaya] pesawat ke luar negeri sudah relatif murah. Orang-orang bisa memilih wisata ke luar negeri,” ujar Fajry.
Berpotensi Turunkan Daya Saing Bisnis di Daerah
Sementara Ekonom Center of Reform on Economic (CORE), Yusuf Rendi justru melihat pengenaan pajak hiburan yang tinggi ini berpotensi mendorong penerimaan daerah. Sebab, pajak hiburan merupakan pajak yang bersifat konsumtif, sehingga semakin tinggi tarif pajaknya, maka semakin besar pula potensi penerimaan daerah.
“Selain itu, pajak hiburan juga merupakan pajak yang relatif mudah dipungut dan dikelola, sehingga dapat menjadi sumber penerimaan daerah yang relatif stabil,” ujar Yusuf.
Di sisi lain, pengenaan pajak hiburan yang tinggi juga berpotensi untuk menekan bisnis di daerah. Sebab, tarif pajak yang tinggi dapat menyebabkan biaya operasional bisnis menjadi lebih tinggi, sehingga dapat menurunkan daya saing bisnis itu sendiri.
“Tarif pajak yang tinggi juga dapat menyebabkan konsumen enggan untuk menggunakan jasa dari bisnis tersebut,” ujarnya.
Oleh karena itu, dalam pengenaan pajak hiburan, Yusuf mendorong Pemda memperhatikan keseimbangan antara potensi penerimaan dan dampak terhadap bisnis. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti daya saing bisnis, daya beli masyarakat, dan potensi pertumbuhan ekonomi daerah.
Tingkatkan Kepatuhan Pajak dan Perluasan Obyek Pajak
Tak hanya itu, Pemda juga diminta untuk mendorong berbagai strategi dalam meningkatkan penerimaan pajak, selain mengandalkan pajak hiburan. Salah satunya adalah dengan meningkatkan kepatuhan wajib pajak melalui sosialisasi, edukasi dan pengawasan yang lebih ketat.
"Kemudian memperluas basis pajak dengan menambah jenis pajak baru atau memperluas objek pajak yang sudah ada menjadi alternatif lain,” ujarnya.
Untuk perluasan obyek pajak, Yusuf menilai pemerintah daerah dapat mempertimbangkan beberapa jenis pajak seperti pajak properti seperti PBB, PKB, dan pajak air tanah, pajak restoran, serta pajak hiburan seperti pajak reklame dan pajak parkir.
“Peningkatan efektivitas pengelolaan pajak juga menjadi fokus dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pengembangan sistem informasi perpajakan,” ujarnya.