Terbebani Pajak, Indodax Minta Industri Kripto Tidak Dikenakan PPN
CEO Indodax, Oscar Darmawan menilai pajak kripto yang ditanggung investor terlalu tinggi di Indonesia. Sebab, mereka dibebani pajak pertambahan nilai (PPN) sekaligus pajak penghasilan (PPh).
Seperti yang diketahui, setiap transaksi kripto di Indonesia dikenakan PPN sebesar 0,11% dari nilai transaksi pada bursa kripto yang terdaftar di Bappebti. Kemudian ditambah PPh sebesar 0,1%.
“Transaksi pajak yang berat karena ditambahkan PPN 0,11% sehingga total pajak mencapai 0,21%,” ujar Oscar dalam Leadership Roundtable Forum, Indonesia Data and Economic Conference Katadata (IDE 2024) di Hotel Kempinski, Jakarta, Selasa (5/3).
Dengan pajak yang tinggi, beban biaya yang ditanggung Indodax juga menjadi lebih besar. Saat ini Indodax mengenakan biaya 0,15% untuk setiap transaksi kripto. "Industri kripto menjadi satu-satunya industri yang membayar pajak lebih mahal," kata dia.
Maka dari itu, ia berharap pemerintah dapat menghapuskan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) agar para pelaku pasar kripto lebih leluasa dalam melakukan transaksi di dalam negeri. Oscar juga berharap, pajak yang dikenakan dapat setara dengan pajak perdagangan pasar saham.
“Harapannya sama dengan negara-negara lain dikenakan PPh final saja, diharapkan sama seperti saham karena pola perdagangannya spot market, tarif pajak hanya PPh final,” ujarnya.
Menurut Oscar, Indonesia memiliki potensi yang besar dalam pasar kripto. Bahkan transaksi harian kripto dapat mencapai triliunan. Namun banyak para pelaku pasar yang lebih memilih bertransaksi di luar negeri karena biayanya lebih murah.
“Sehingga industri kripto dalam negeri tidak mampu dengan industri luar negeri yang menggunakan biaya lebih murah. Tanpa ada PPN, saya rasa dapat bersaing dengan luar negeri,” ujarnya.
Penjelasan Ditjen Pajak Kemenkeu
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu menyatakan bahwa pemerintah telah mengenakan tarif yang rendah untuk pengenaan pajak kripto. Begitu pula untuk bursa (exchange) kripto yang terdaftar dalam Bappebti.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu Dwi Astuti mengatakan, hal tersebut dilakukan untuk menarik bursa kripto melakukan transaksi di dalam negeri.
Sejak Mei 2022, setiap transaksi kripto di Indonesia dikenakan PPN sebesar 0,11% dari nilai transaksi pada bursa yang terdaftar di Bappebti, ditambah PPh sebesar 0,1%.
“Rendahnya tarif ini dapat menjadi insentif yang menarik bagi exchanger kripto untuk tetap melakukan kegiatan usahanya di Indonesia,” ujar Dwi Astuti kepada Kadatada.co.id, Jumat (1/3).
Sementara pengenaan pajak untuk bursa yang belum terdaftar di Indonesia, dikenakan tarif PPN sebesar 0,22% dan PPh sebesar 0,2%. Hal ini berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68 Tahun 2022.
Hingga akhir Januari 2024, realisasi pendapatan negara dari pajak kripto mencapai Rp 39,13 miliar. Sebesar Rp 18,2 miliar berasal dari PPh pasal 22, kemudian Rp 20 miliar berasal dari PPN atas transaksi kripto.