Tantangan Pemerintahan Prabowo Kerek Rasio Pajak hingga 12% di 2025
Sejumlah ekonom memperkirakan, pemerintahan era Prabowo Subianto akan sulit merealisasikan target rasio pajak sebesar 11,2%-12% pada tahun 2025.
Diketahui, rasio pajak pada tahun 2022 mencapai 10,39% dari PDB. Akan tetapi, rasio pajak kembali merosot ke 10,21% dari PDB pada 2023. Sehingga, Ditjen Pajak menurunkan target rasio pajak ke level 8,59%-9,55% pada 2024.
Pengamat Perpajakan, Raden Agus Suparman menilai rasio pajak sebesar 12% sulit tercapai pada tahun depan, karena masih banyak penyesuaian yang harus dilakukan.
Salah satunya, penyesuaian penggunaan sistem perpajakan baru, core tax system yang akan diluncurkan pertengahan pada tahun ini. Sehingga, perlu ada penyesuaian baik dari sisi pengguna, wajib pajak dan petugas pajak.
“Sistem baru tidak akan langsung menaikkan rasio pajak. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, aplikasi baru yang diluncurkan oleh Direktorat Jenderal Pajak selalu membutuhkan penyesuaian,” ujar Raden kepada Katadata.co.id, Selasa (23/4).
Selain itu, otoritas pajak juga akan mulai sibuk dengan pembentukan Badan Penerimaan Negara atau Badan Otoritas Penerimaan Negara pada tahun 2025.
Menurut Raden, Badan Penerimaan Negara ini akan menggabungkan Direktorat Jenderal Pajak untuk penerimaan pajak, Direktorat Jenderal Bea Cukai untuk penerimaan kepabeanan, dan sebagian Direktorat Jenderal Anggaran untuk penerimaan PNBP.
“Menyatukan tiga institusi pasti membutuhkan waktu tidak sebentar,” ujarnya.
Target Rasio Pajak 11% Lebih Realistis
Menurut Ekonom CORE Yusuf Rendy Manilet, target rasio pajak 11% masih lebih realistis dibandingkan 12%. Hal ini dipengaruhi oleh rencana pemerintah yang ingin menaikkan tarif PPn dari 11% menjadi 12% pada 2025.
“Untuk batas atas 12% memang cukup menantang atau masih relatif sulit untuk diwujudkan, namun untuk batas bawah di angka 11%, saya kira masih ada peluang,” ujar Yusuf.
Selain itu, tahun ini juga ada indikasi perlambatan konsumsi masyarakat. Sehingga, hal ini menjadi salah satu indikator bahwa pendapatan atau pengeluaran masyarakat juga ikut berkurang.
“Ketika pengeluaran berkurang, maka setoran pajak yang dipungut dari pendapatan masyarakat juga akhirnya menurun,” ujarnya.
Memajaki Para Politisi dan Pejabat Negara
Tak hanya itu, tantangan untuk meningkatkan rasio pajak juga terkait dengan keberanian pimpinan otoritas untuk membuka data rekening keuangan dan dimanfaatkan untuk pengawasan wajib pajak.
Menurut Raden, saat ini Direktorat Jenderal Pajak masih terlalu hati-hati memanfaatkan data PPATK untuk tujuan penerimaan perpajakan. Karena statusnya sebagai data rahasia.
"Sehingga petugas pajak di tingkat pelaksana pun tidak memiliki kewenangan penuh memanfaatkan untuk kepentingan pengawasan. Sehingga, selama ini data PPATK seringkali tidak maksimal untuk dimanfaatkan,” ujarnya.
Selain data, keberanian Ditjen Pajak juga termasuk untuk menegakkan hukum terhadap para politisi, dan pejabat negara yang diindikasikan memiliki jejak rekam tindak pidana pencucian uang.
“Di aturan pajak, pajak penghasilan itu tidak mengenal halal haram, legal ilegal. Semua penghasilan, wajib bayar pajak penghasilan kecuali penghasilan ini dikecualikan dalam Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan,” ujarnya.
Sehingga, keberanian memajaki politisi dan pejabat negara dinilai akan memberikan efek gentar atau deterrent effect kepada wajib pajak lain yang selama ini bersembunyi atau menyembunyikan usahanya.
“Dengan demikian, kepatuhan wajib pajak secara keseluruhan akan meningkat sekaligus meningkatkan rasio pajak,” ujarnya.
Sementara itu, Yusuf menilai tantangan Kementerian Keuangan selanjutnya adalah memastikan pajak bisa berada pada titik yang seimbang, baik untuk sumber penerimaan negara maupun stimulasi perekonomian.
“Menjalankan kedua fungsi itu dalam taraf yang proporsional tidaklah mudah, dan kita tahu, kedua fungsi itu sama pentingnya dan mempunyai korelasi dengan kondisi perpajakan serta perekonomian kita saat ini,” ujarnya.