Tarif Iuran Kelas 3 BPJS Kesehatan Berpotensi Naik Akibat KRIS
Sistem kelas 1, 2, dan 3 dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan mulai digantikan dengan sistem kelas rawat inap standar (KRIS). Namun penerapan KRIS berpotensi menaikkan iuran kelas 3 BPJS Kesehatan.
Koordinasi Advokasi Jaminan Sosial BPJS Watch, Timbul Siregar memperkirakan peserta penerima upah swasta dan pemerintah tidak puas dengan penerapan KRIS. Sebab, selama ini mereka berada di kelas 1 dan 2 dengan ruang perawatann dua atau tiga tempat tidur.
Artinya, melalui kebijakan KRIS, iuran peserta Mandiri akan menjadi satu atau single tarif untuk satu ruang perawatan. Sehingga iuran kelas 1 dan 2 akan turun, sementara kelas 3 akan naik.
“Bagi kelas 1 dan 2 akan membayar lebih rendah sehingga menurunkan potensi penerimaan iuran, sementara kelas 3 yang naik akan berpotensi meningkatkan peserta yang menunggak,” kata Timbul kepada Katadata.co.id, Kamis (15/5).
Bahkan, iuran peserta mandiri menjadi tarif tunggal dengan kisaran nilai Rp 42 ribu sampai Rp 100 ribu. Jika ditetapkan Rp 75 ribu, maka iuran peserta kelas 1 dan kelas 2 akan turun yang berakibat pendapatan iuran JKN ikut merosot.
"Sementara kelas 3 akan naik, tapi akan berpotensi meningkatkan peserta yang menunggak. Ini artinya terjadi penurunan pendapatan iuran lagi,” ujarnya.
Berpotensi Hambat Akses Peserta JKN
Selain itu, pelaksanaan KRIS berpotensi akan menghambat akses peserta jaminan kesehatan nasional (JKN) pada ruang perawatan. Karena pelaksanaan KRIS akan merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) nomor 47 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perumahsakitan.
Pada pasal 18, disebutkan rumah sakit (RS) swasta dapat mengalokasikan ruang perawatan minimal 40% dari total yang ada dan rumah sakit pemerintah dapat mengalokasikan minimal sebesar 60%.
"Bila RS swasta mengalokasikan 50%, maka itu sudah memenuhi PP nomor 47 tersebut. Jadi yang bisa diakses peserta JKN hanya 50%, sementara 50% lagi untuk pasien umum," kata Timbul.
Demikian pula jika RS pemerintah mengalokasikan 80% untuk KRIS, 80% untuk pasien JKN dan 20% untuk pasien umum. Maka, akan terjadi pembatasan akses bagi peserta JKN ke ruang perawatan di RS.
“Saat ini saja, ruang perawatan kelas 1, 2 dan 3 diabdikan semuanya untuk pasien JKN, masih terjadi kesulitan mengakses ruang perawatan, apalagi nanti dengan KRIS. Akan terjadi ketidakpuasan untuk layanan JKN dari peserta JKN,” ujar Timbul.
Tidak Ada Perubahan Iuran hingga 30 Juni 2025
Seperti diketahui, Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan memberikan tenggat waktu kepada seluruh rumah sakit (RS) yang bekerja sama dengan BPJS untuk dapat menerapkan pelayanan KRIS paling lambat sampai 30 Juni 2025.
Mereka menjamin sistem kelas rawat inap kelas 1,2 dan 3 masih akan berjalan di sejumlah RS yang bekerja sama dengan BPJS. Mereka juga memastikan tidak ada perubahan iuran terhadap fasilitas pelayanan rawat inap kelas 1,2, dan 3 hingga 30 Juni 2025.
Juru Bicara Kemenkes Mohammad Syahril mengatakan bahwa pemerintah menargetkan 3.057 RS menerapkan pelayanan kesehatan KRIS sampai akhir Juni 2025. Sementara pada tahun ini Kemenkes menargetkan 2.432 RS mengimplementasikan KRIS. Adapun sampai 30 April 2024 sudah ada 1.053 RS yang melaksanakan KRIS.
"RS yang sudah melaksanakan KRIS tetap memakai tarif dan iuran eksisting, nanti per 1 Juli 2025 baru menggunakan yang terbaru,” kata Syahril di Kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta pada Rabu (15/5).
Pemberian tenggat waktu hingga 30 Juni 2025 itu ditujukan untuk memberikan kesempatan bagi RS yang bekerja sama dengan BPJS agar menyesuaikan kriteria fasilitas perawatan dan pelayanan rawat inap berdasarkan KRIS.
Sembari memberikan kesempatan waktu agar seluruh RS mitra BPJS dapat menerapkan fasilitas KRIS, pemerintah saat ini juga melakukan evaluasi terhadap RS yang sudah menerapkan fasilitas KRIS.
Evaluasi ini dipantau oleh Kemenkes, BPJS Kesehatan, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSM) dan Menteri Keuangan. Nantinya, hasil evaluasi akan menjadi dasar penetapan manfaat, tarif, dan iuran BPJS teranyar yang akan mulai berjalan pada 1 Juli 2025. Ketetapan itu tertulis dalam Pasal 103B Perpres Nomor 59 Tahun 2024.