Anggota DPR Minta Program KRIS BPJS Kesehatan Ditunda dan Dievaluasi

Ferrika Lukmana Sari
10 Juni 2024, 17:55
KRIS
Fauza Syahputra|Katadata
Petugas melayani warga yang mengurus kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di Kantor Cabang Jakarta Selatan, Jakarta, Jumat (17/5/2024). Pemerintah menghapus sistem kelas 1,2 dan 3 pada BPJS Kesehatan dan menggantinya dengan sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) guna meningkatkan pelayanan dan kualitas kesehatan yang akan diterapkan paling lambat pada 30 Juni 2025.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Anggota Komisi IX DPR Netty Prasetiyani Aher meminta penerapan program Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) BPSJ Kesehatan dievaluasi atau ditunda. Karena pemerintah masih memiliki banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus segera diselesaikan. 

"Masih terlalu dini menerapkan KRIS. Sementara di sistem kesehatan kita, masih banyak PR yang harus segera diselesaikan," kata Netty dalam keterangan resmi, Senin (10/6).

Jika mengacu pada Perpres Nomor 59 Tahun 2024, KRIS paling lambat akan berlaku pada 30 Juni 2025. Menurut Netty, penerapan KRIS itu terlalu terburu-buru dan akan menambah deretan panjang masalah kesehatan di Indonesia.

"Banyak PR klasik di sistem kesehatan kita yang sampai saat ini belum selesai seperti perbaikan layanan, kekurangan nakes, obat-obatan, reaktifasi peserta non-aktif BPJS, tunggakan, ketersediaan kamar dan lain-lain yang harus tetap menjadi prioritas perbaikan," ujarnya.

Netty juga khwatir karena masih banyak fasilitas kesehatan yang tak siap dan mengeluhkan penerapan KRIS. Jika hal ini berlanjut, dikhawatirkan akan mengurangi tempat tidur pasien di rumah sakit. 

“Sebelum penerapan KRIS saja tempat tidur di RS tidak mencukupi, apalagi kalau ada pengurangan maka bisa dibayangkan bagaimana penumpukan pasien akan semakin mengkhawatirkan," ujarnya.

Iuran Kelas 3 Berpotensi Naik

Tak berbeda, anggota Komisi IX DPR RI Irma Suryani Chaniago juga meminta pemerintah untuk tidak terburu-buru menghapus kelas peserta BPJS Kesehatan karena berpotensi menurunkan kelas 1 dan 2.

Sementara untuk peserta BPJS kesehatan kelas 3 akan mengalami kenaikan iuran, sehingga dikhawatirkan akan terjadi adanya ketidakadilan dalam pelayanan BPJS kesehatan.

”Yang pertama saya juga mau pantun, 'ikan sepat ikan gabus, pengen cepet-cepet pasti nggak bagus'. Konstitusi kita menyatakan bahwa BPJS itu mengamanatkan itu berdasarkan gotong royong, ada asas keadilan. KRIS ini tidak seperti itu, tidak sesuai dengan amanat konstitusi," ujar Irma.

Untuk itu, Irman meminta pemerintah taat dan tidak main-main dengan konstitusi. ”Mesti dilihat dulu konstitusinya, jangan hanya melihat peraturan presiden dan undang-undang lainnya. Ini amanat konstitusi. Jadi jangan main-main dengan amanat konstitusi," kata Irma.

Apalagi, peserta BPJS Kesehatan banyak diisi oleh peserta kelas 3 ketimbang kelas 1 dan 2. Sehingga nantinya akan ada kemungkinan kejompangan pada tiap kelas dan pembayaran.

"Rakyat Indonesia yang menggunakan BPJS kelas 3 jauh lebih besar dari yang kelas 1, kelas 2. Kemudian yang harus juga diperhatikan peserta BPJS itu yang aktif paling sebesar 70%, 30% ke atas itu masih nonaktif," ujarnya.

Selain itu, Irma juga mempertanyakan terkait kajian akademis sistem KRIS yang akan diterapkan pemerintah. Hal ini sama sekali belum pernah dikomunikasikan dengan Komisi IX DPR RI.

Seperti diketahui, kelas BPJS Kesehatan disebut-sebut akan mengalami perubahan seiring dengan  diterapkannya sistem KRIS di rumah Sakit. Hal ini diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Reporter: Ferrika Lukmana Sari

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...