Pertanda Buruk, Deflasi hingga Kelas Menengah Turun Ancam Pertumbuhan Ekonomi

Rahayu Subekti
4 September 2024, 17:34
pertumbuhan ekonomi, kelas menengah, daya beli lesu,
ANTARA FOTO/Novrian Arbi/Spt.
Pengunjung menaiki eskalator di pusat perbelanjaan The Kings Shopping Centre, Bandung, Jawa Barat, Selasa (6/8/2024). Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan pertumbuhan ekonomi Indonesia mampu mencetak angka 5,05 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) berkat perekonomian domestik, salah satunya tercermin dari daya beli masyarakat yang relatif terjaga pada indeks penjualan ritel yang tumbuh 1,14 persen.
Button AI Summarize

Indonesia dihadapkan dengan kondisi deflasi atau penurunan harga barang dan jasa yang terjadi selama empat bulan berturut-turu. Kondisi ini terjadi di tengah fenomena penurunan kelompok kelas menengah sejak Indonesia dilanda pandemi Covid-19.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menilai, deflasi beruntun yang disebabkan karena penurunan dari sisi daya beli, permintaan, penurunan konsumsi masyarakat berpengaruh ke pertumbuhan ekonomi. “Karena kan ekonomi kita 56% dibentuk oleh konsumsi rumah tangga,” kata Faisal kepada Katadata.co.id, Rabu (4/9).

Ia menyebut konsumsi rumah tangga Indonesia saat ini di bawah kondisi 2022 yang pertumbuhannya berada di kisaran 5%. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga Indonesia pada 2024 hanya mencapai 4,9% pada kuartal I dan II. 

“Jadi ini memang lebih lambat sekarang konsumsi rumah tangganya dan itu diantaranya disebabkan penurunan daya beli yang terefleksikan dan diindikasikan dari adanya deflasi selama empat bulan berturut ini,” ujar Faisal.

Ia menjelaskan, deflasi yang terjadi sebenarnya tak selalu berarti baik buruk. Hal tersebut bergantung pad apenyebabnya. Menurut dia, deflasi berarti buruk bagi perekonomian jika disebabkan penurunan permintaan.

Adapun deflasi berarti baik jika konsumsi masyarakat kuat, pendapatan masyarakat meningkat, dan kemampuan belanjanya juga naik. Kondisi tersebut  terjadi jika permintaan meningkat lalu diikuti dengan ketersediaan barang yang cukup sehingga harga barang terkendali atau bisa mengalami penurunan.

“Nah ini kan menjadi ciri khas deflasi, harga barang-barang justru cenderung turun. Turunnya bukan karena kemampuan untuk mengendalikan harga barang atau kemudian meningkatkan produksi. Ini lebih kepada karena kemampuan membeli konsumennya,” kata Faisal.

Indikasi Melemahnya Daya Beli

Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Wahyudi Askar mengungkapkan indikasi melemahnya daya beli semakin kuat ditengah kondisi deflasi yang terjadi secara berturut dan indikator lainnya. Badan Pusat Statistik atau BPS  sebelumnya mengklaim penyebab deflasi yang terjadi secara beruntun dikarenakan pasokan yang berlimpah.

Media menilai, penurunan harga yang disebabkan oleh pasokan yang berlebih biasanya tidak mencerminkan adanya masalah dari sisi permintaan. “Ini justru lebih kepada adanya ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan yang sementara,” ujar Media.

Media menjelaskan, beberapa indikator makroekonomi dapat digunakan untuk mengukur daya beli. Hal itu bisa terlihat dari peningkatan tingkat pengangguran dan stagnasi dalam pertumbuhan upah dapat menunjukkan bahwa konsumen merasa kurang optimis terhadap kondisi ekonomi.

“Kondisi itu membuat masyarakat mengurangi pengeluaran mereka. Saat ini, pertumbuhan upah di Indonesia sangat kecil,” kata Media.

Media mengungkapkan, penurunan dalam kredit konsumsi juga menjadi tanda masyarakat cenderung menahan belanja yang mengindikasikan penurunan daya beli. Meskipun faktor kelebihan pasokan penting, namun Media menilai analisis terhadap indikator-indikator tersebut jauh lebih relevan.

“Banyak masyarakat akhirnya mencari jalan lain di luar keuangan formal, judi online. BPS juga bisa menggunakan indikator persentase masyarakat menggunakan pinjaman online ilegal untuk menunjukkan penurunan daya beli masyarakat,” ujar Media.

Kelas Menengah Merosot Dibarengi Deflasi Berturut

BPS mencatat, jumlah kelompok kelas menengah merosot sejak terjadi pandemi Covid-19. Berdasarkan survei sosial ekonomi nasional atau Susenas Maret 2024, jumlah kelas menengah turun dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta orang pada tahun ini.

Pelaksana Tugas Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menurunnya kelas menengah dipastikan bukan menjadi rentan miskin. “(Turunnya) ke menuju kelas menengah. Makanya tadi kan aspiring middle class-nya naik,” kata Amalia di Gedung BPS, Jumat (30/8). 

Mengutip data BPS, jumlah kelompok menuju kelas menengah pada 2019 mencapai 128,85 juta orang dengan proporsi 48,20%. Selanjutnya angka tersebut melonjak pada 2024 menjadi 137,50 juta orang dengan proporsi 49,22%. 

Amalia mengakui penurunan kelas menengah terjadi sejak pandemi. Angka kelas menengah meningkat pada 2014 hingga 2019. Amalia mengatakan ,angka kelas menengah pada 2014 mencapai 43,34 juta orang dan  naik menjadi 57,33 juta orang pada 2019. Namun, jumlahnya menurun menjadi 53,83 juta orang saat pandemi pada 2021 dan terus merosot setiap tahunnya hingga 2024. 

Sementara itu, BPS juga mencatat deflasi pada Mei 2024 mencapai 0,03% secara bulanan dan semakin dalam pada Juni menjadi 0,08%. Deflasi pun semakin parah pada Juli 2024 yang mencapai 0,18%.

Deflasi pun terus berlanjut pada Agustus 2024 namun kembali ke level 0,03% sama seperti bulan Mei. Secara umum, deflasi adalah penurunan laju inflasi dalam waktu tertentu. Pada kondisi ini, harga barang dan jasa secara bersamaan mengalami penurunan.

Reporter: Rahayu Subekti
Editor: Agustiyanti

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...