Kemenkeu Diminta Pertimbangkan Daya Beli Sebelum Terapkan Cukai Minuman Manis
Kementerian Keuangan berencana menerapkan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) pada semester II 2025. Namun, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, menilai bahwa waktu penerapan kebijakan ini belum tepat.
“Pungutan fiskal seperti pajak penghasilan (PPh) atau sumber utama penerimaan negara yang sifatnya tambahan sebaiknya ditunda sementara waktu. Pemerintah perlu memprioritaskan pemulihan daya beli kelas menengah terlebih dahulu,” kata Faisal kepada Katadata.co.id, Senin (13/1).
Faisal menegaskan bahwa pemerintah sebaiknya memberikan insentif dan fasilitas untuk memulihkan daya beli masyarakat kelas menengah sebelum menerapkan kebijakan seperti cukai MBDK.
Penambahan beban berupa pajak, retribusi, atau cukai, termasuk MBDK, akan berdampak langsung pada harga yang ditanggung konsumen. “Tahun ini, fokusnya harus pada pemulihan daya beli masyarakat. Jika beban fiskal ditambah, hal ini justru berpotensi memperburuk kondisi ekonomi,” ujar Faisal.
Meski demikian, Faisal mendukung konsep penerapan cukai ini, asalkan cakupannya diperluas, misalnya mencakup minuman manis yang dijual di gerai seperti minuman boba dan lainnya.
“Cukai MBDK sebaiknya tidak hanya dikenakan pada produk kemasan. Minuman gerai juga harus dikenai cukai untuk menciptakan keadilan, karena keduanya berkontribusi pada peningkatan asupan kalori gula,” kata Faisal.
Tarif Tidak Boleh Memberatkan
Di sisi lain, pengamat ekonomi Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai bahwa penerapan cukai MBDK pada paruh kedua tahun ini dapat dilakukan, asalkan tarif yang dikenakan tidak memberatkan.
“Cukai MBDK boleh saja diterapkan, tapi dengan tarif awal yang ringan. Tarif bisa dinaikkan secara bertahap setelah daya beli masyarakat membaik,” ujar Wijayanto.
Ia juga mengingatkan bahwa kebijakan ini tidak boleh dijadikan pengganti potensi kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% yang sebelumnya dibatalkan untuk semua barang dan jasa. Jika tidak hati-hati, hal ini dapat menggerus daya beli masyarakat.
“Pemerintah perlu berkoordinasi dengan asosiasi dan pengusaha yang memahami kondisi di lapangan untuk memastikan kebijakan ini tidak menimbulkan keresahan seperti saat wacana kenaikan PPN menjadi 12%,” ujarnya.
Bea Cukai Siapkan Regulasi
Bea Cukai menargetkan penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) mulai semester II 2025. Saat ini, pembahasan terkait ambang batas kadar gula untuk produk yang dikenakan cukai masih berlangsung.
"Rencana penerapan MBDK sesuai jadwal ditargetkan semester II 2025," ujar Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa DJBC, Nirwala Dwi Heryanto, dalam konferensi pers di Kantor Pusat DJBC Jakarta, Jumat (10/1).
Pengenaan cukai MBDK bertujuan mengurangi konsumsi gula tambahan di masyarakat. Minuman berpemanis diketahui dapat memicu peningkatan prevalensi penyakit seperti diabetes, obesitas, dan gangguan metabolisme di Indonesia.
Pemerintah akan menetapkan ambang batas atau threshold kadar gula yang akan diatur lebih rinci dalam Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Menteri Keuangan (PMK) atau Peraturan Direksi Jenderal (Perdirjen).
"Kami akan menetapkan ambang batas kadar gula. Seberapa besar batasannya, saat ini masih dalam tahap penggodokan dan akan dibahas lebih lanjut dalam PP," kata Nirwala.
Nantinya, aturan turunan akan mencakup rincian produk yang dikenakan cukai, mekanisme pembebasan, hingga pengawasan pelaksanaan cukai MBDK.
Dalam menyusun kebijakan ini, pemerintah melakukan studi komparatif serta pendekatan Amati, Tiru, Modifikasi (ATM) terhadap aturan di negara lain untuk merumuskan kebijakan yang tepat bagi Indonesia.
Skema Tarif yang Dipertimbangkan
Pada kesempatan yang sama, Kasubdit Tarif Cukai dan Harga Dasar DJBC, Akbar Harfianto, menjelaskan bahwa ada dua skema tarif yang sedang dipertimbangkan, yaitu:
1. On trade: Produk dalam kemasan langsung dari pabrik atau industri.
2. Off trade: Produk yang dijual dalam bentuk curah atau eceran.
Keputusan skema yang akan diterapkan masih dikaji, dengan mempertimbangkan referensi dari negara lain dan masukan dari Kementerian Kesehatan serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Pemerintah juga mempertimbangkan kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat dalam menentukan besaran tarif cukai awal. "Kami tidak ingin membebani masyarakat atau industri terlalu berat pada tahap awal penerapan. Hal ini menjadi catatan penting, mengingat perkembangan ekonomi dan dinamika lainnya," kata Akbar.
Ia juga menegaskan bahwa tujuan utama cukai MBDK bukan untuk meningkatkan penerimaan negara, melainkan untuk mengatasi masalah kesehatan terkait penyakit tidak menular akibat konsumsi gula berlebih.
"Jangan sampai dianggap bahwa negara membutuhkan uang, tapi ini lebih kepada upaya mengatasi masalah kesehatan," kata Akbar.