Kenapa Rupiah Bisa Jeblok hingga Rp 16.700 per Dolar AS? Ini 4 Pemicunya

Rahayu Subekti
29 September 2025, 12:30
rupiah
Katadata/Fauza Syahputra
Petugas menunjukan uang rupiah dan dolar di Kantor Pusat Bank Mandiri di Jakarta, Kamis (18/9/2025). Kementerian Keuangan menempatkan dana Rp 200 triliun di dalam himpunan bank milik negara alias himbara dengan masing-masing Rp 55 triliun untuk Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Bank Negara Indonesia (BNI) serta Rp 25 triliun di Bank Tabungan Negara (BTN) dan Bank Syariah Indonesia (BSI) Rp 10 triliun.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Nilai tukar rupiah terus mendapat tekanan hingga menembus level psikologis Rp 16.700 per dolar AS pada Kamis (29/9). Sejumlah faktor eksternal maupun internal disebut menjadi pemicu pelemahan ini.

1. Kondisi Geopolitik

Pengamat ekonomi, mata uang, dan komoditas Ibrahim Assuaibi mengatakan gejolak geopolitik di Eropa turut membebani rupiah. Presiden Amerika Serikat Donald Trump pekan ini mengeluarkan pernyataan keras terhadap Rusia dalam sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

“Trump memperingatkan negara-negara Eropa agar tidak membeli minyak Rusia. Ia juga menyatakan Washington sedang mempertimbangkan sanksi baru yang bisa menargetkan aliran energi,” kata Ibrahim kepada Katadata.co.id, Senin (29/9).

Meski belum ada kebijakan resmi, retorika itu meningkatkan risiko geopolitik. “Ada kekhawatiran sanksi lebih keras dapat mengganggu ekspor Rusia atau memicu balasan dalam bentuk pembatasan pasokan,” ujarnya.

Di sisi lain, Ukraina dalam beberapa minggu terakhir meningkatkan serangan pesawat nirawak terhadap infrastruktur energi Rusia. Serangan ini menargetkan fasilitas penting seperti kilang minyak dan terminal ekspor.

Akibatnya, Rusia mengalami kekurangan pasokan beberapa jenis bahan bakar. Kondisi tersebut bahkan membuka kemungkinan Moskow memberlakukan pembatasan ekspor jika diperlukan.

2. Spekulasi Suku Bunga The Fed

Data inflasi AS pada Agustus 2025 menunjukkan indeks Personal Consumption Expenditures (PCE) naik 2,9% secara tahunan (yoy). Angka ini menjadi salah satu acuan penting bagi Bank Sentral AS atau The Fed dalam menentukan kebijakan moneternya.

“Data ini membuka peluang bagi Bank Sentral AS alias The Fed untuk memangkas suku bunga,” kata Analis Doo Financial Futures Lukman Leong.

Spekulasi terkait arah kebijakan The Fed pun langsung memengaruhi pasar. Terlebih, Ketua The Fed Jerome Powell pada awal pekan lalu menegaskan bahwa keputusan suku bunga tetap akan bergantung pada perkembangan data ekonomi.

Menurut Ibrahim, mandat ganda The Fed membuat posisinya cukup rumit. Dengan kebijakan yang masih ketat di wilayah restriktif, mempertahankan suku bunga terlalu lama bisa berdampak negatif pada lapangan kerja.

"Situasi ini menunjukkan bahwa The Fed cenderung mengambil sikap dovish, meskipun dengan langkah yang tetap hati-hati," kata dia.

3. Sentimen Kebijakan Purbaya

Dari dalam negeri, pengamat pasar uang Ariston Tjendra menilai kebijakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa belakangan turut memengaruhi rupiah. Salah satunya adalah penempatan dana Rp 200 triliun di perbankan.

“Kebijakan ini menambah likuiditas dan menurunkan imbal hasil obligasi. Akibatnya, kebijakan pelonggaran likuiditas membuat aset rupiah jadi kurang menarik, sehingga menekan nilai tukar,” kata Ariston.

Selain itu, penolakan Purbaya terhadap program pengampunan pajak atau tax amnesty juga menuai respons negatif dari pasar. Penolakan itu muncul karena dikhawatirkan akan dimanfaatkan para pengemplang pajak untuk kembali tidak patuh dalam memenuhi kewajibannya.

“Setiap Menteri Keuangan mempersiapkan tax amnesty, pasar selalu respons positif. Kali ini ditolak, pasar justru semakin apatis,” ujar Ibrahim.

Ia menilai kebijakan Purbaya sebenarnya berupaya menghindari utang baru dan memaksimalkan penerimaan pajak. Namun, di tengah ekonomi yang lesu, potensi kepatuhan pajak menurun. “Kalau pajak berkurang, ini yang direspons negatif oleh pasar sehingga rupiah melemah,” katanya.

4. Kenaikan Bunga Deposito Valas

Keempat bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kompak mengumumkan rencana menaikkan bunga deposito valuta asing (valas) menjadi 4% mulai 5 November 2025. Kebijakan ini diduga menjadi salah satu pemicu pelemahan rupiah hingga menembus level Rp 16.700 per dolar AS pada pekan ini.

Tingkat bunga baru tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan bunga deposito valas yang saat ini masih berlaku. Bank Mandiri dan BNI misalnya, menawarkan bunga deposito valas antara 0,75% hingga 1,75%. BRI memberikan bunga 1,75% hingga 2%, sedangkan BTN berkisar 0,2% hingga 2,25%.

Ekonom senior sekaligus mantan Menteri Keuangan, Chatib Basri, menilai kebijakan serentak bank-bank Himbara ini dapat memengaruhi likuiditas rupiah, nilai tukar, hingga kinerja perbankan secara keseluruhan.

“Kasus yang menarik untuk dipelajari: apa dampak menaikkan bunga deposito USD pada bank Himbara dengan tujuan menarik arus modal kembali ke Indonesia? Gunakan kerangka ekonomi makro. Apakah akan ada capital inflow dengan kebijakan ini? Atau justru rupiah bisa melemah?” tulis Chatib melalui akun X, Minggu (28/9).

Menurut Chatib, kenaikan bunga deposito dolar AS di dalam negeri akan menjadi insentif bagi deposan untuk mengalihkan aset dari rupiah ke dolar. Hal ini bisa meningkatkan permintaan dolar AS seiring langkah masyarakat atau korporasi menukarkan rupiah ke dolar.

Konsekuensinya, likuiditas rupiah di pasar menurun karena dana rupiah keluar dari sistem perbankan untuk ditukar ke dolar AS. Kondisi ini dapat menimbulkan pengetatan likuiditas rupiah di pasar uang domestik, sehingga suku bunga rupiah bisa naik.

Kenaikan bunga deposito juga berpotensi menekan nilai tukar. Permintaan dolar meningkat karena bunga deposito valas lebih menarik, sehingga menimbulkan tekanan depresiasi rupiah.

Menurut Chatib, tekanan ini terutama muncul jika selisih bunga dolar di bank Indonesia dengan rupiah makin kecil, membuat investor menilai dolar lebih atraktif, aman, dan rendah risiko kurs.

“Hasilnya, rupiah melemah terhadap dolar. Namun, jika BI melakukan intervensi atau menaikkan bunga rupiah untuk menjaga daya tariknya, dampaknya bisa berbeda,” katanya.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Rahayu Subekti

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...