Pengembangan Gas Metana Batubara di Indonesia Hadapi Banyak Tantangan
Upaya pemerintah mendorong pengembangan gas metana dari batu bara (coal bed methane/CBM) di Indonesia rupanya tak mudah. SKK Migas menyebut pengembangan CBM ke depan akan semakin menantang.
Deputi Perencanaan SKK Migas Benny Lubiantara mengatakan pengembangan CBM serta migas non konvensional (MNK) lainnya seperti shale oil akan semakin berat lantaran banyak perusahaan minyak kelas dunia yang saat ini mulai bertransformasi ke bisnis berkelanjutan.
"Banyak perusahaan migas internasional yang telah menyatakan strategi 'net zero' pada 2050," ujarnya kepada Katadata.co.id, Senin (2/8).
Dengan demikian, pengembangan migas non konvensional (MNK) akan berpacu dengan waktu. Apalagi secara komersil, MNK sangat berbeda dengan migas konvensional.
Menurut Benny produksi dari satu sumur MNK umumnya relatif kecil dan cepat turun, sehingga perlu pengeboran yang masif sepanjang umur proyek untuk mempertahankan tingkat produksi. Ditambah lagi, untuk membuat minyak dan gas tersebut dapat mengalir, diperlukan pekerjaan fracturing pada lapisan migas di reservoir tersebut.
Untuk mencapai tingkat keekonomian proyek, maka diperlukan syarat dan ketentuan fiskal yang berbeda, dan harus lebih menarik dari migas konvensional. Selain itu, isu non fiskal seperti tumpang tindih lahan juga perlu segera ada solusi.
Mengingat potensi sumber daya MNK di Indonesia masih cukup besar dan belum termanfaatkan secara optimal. Dia pun mendorong pemanfaatan migas non konvensional digalakkan di Indonesia. Sehingga dapat membantu pencapaian target produksi dalam beberapa tahun ke depan.
Benny menilai dengan kecenderungan perkembangan industri migas global ke depan dan kompetisi menarik investor yang semakin ketat. Maka pengembangan MNK perlu segera dengan pendekatan yang sama sekali berbeda baik dari aspek fiskal dan non fiskal. "Sekarang atau tidak sama sekali karena momentumnya sudah keburu hilang," kata dia.
Seperti diketahui, beberapa waktu lalu Kementerian ESDM akhirnya menyetujui revisi proposal rencana pengembangan atau POD blok migas non konvensional pertama di Tanjung Enim.
Proyek ini akan menjadi proyek pengembangan blok yang menghasilkan gas dari batu bara atau Coal Bed Methane (CBM) pertama di Indonesia, menggunakan skema kontrak gross split.
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan rencana pengembangan blok ini diperkirakan dapat meningkatkan produksi gas nasional pada 2023. Tingkat produksi puncak dari Lapangan A dan B Tanjung Enim diperkirakan mencapai 25,74 juta standar kaki kubik per hari MMSCFD.
Selain itu, pengembangan blok ini juga akan meningkatkan penerimaan negara dari bagi hasil dan pajak yang diperkirakan mencapai US$ 158 juta.
"Dengan rencana investasi sebesar US$ 172 juta, diharapkan pengembangan lapangan ini akan berdampak positif bagi Indonesia ke depan," ujarnya dalam konferensi pers secara virtual, Kamis (17/6).
Arifin berharap dimulainya pengembangan Tanjung Enim sebagai Blok CBM pertama di Indonesia bisa menjadi pemicu. Sehingga Wilayah Kerja CBM lainnya bisa tergerak mengambil tahap selanjutnya yakni eksploitasi.
Adapun NuEnergy melalui anak usahanya, yakni Dart Energy (Tanjung Enim) Pte Ltd menjadi operator dengan hak kelola 45% di Blok Tanjung Enim. Sisanya dipegang mitranya yang terdiri dari PT Pertamina Hulu Energi (PHE) Metra Enim 27,5%, dan PT Bukit Asam Metana Enim 27,5%.
Berdasarkan situs resminya, Blok Tanjung Enim terletak di Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan. Kontrak blok ini pertama kali disetujui pada 4 Agustus 2009 lalu selama 30 tahun.