Singapura Krisis Energi, Pengecer Listrik Tak Terima Pelanggan Baru
Tanda-tanda krisis energi mulai menghampiri Singapura. Hal ini seiring pengecer listrik independen terbesar di negara tersebut, iSwitch, dan tiga perusahaan pesaingnya mulai menarik diri dari pasar dan tidak lagi menerima pelanggan baru di tengah melambungnya harga energi.
Harga LNG di pasar spot Asia telah melonjak lebih dari 500% dari tahun lalu menjadi lebih dari US$ 30 per juta British thermal unit (mmBtu) bulan ini, sementara harga minyak mentah Brent yang sebagian besar kontrak gas jangka panjang Singapura naik ke level tertingginya dalam beberapa tahun terakhir.
Mengutip The Straits Times, iSwitch Energy, salah satu pengecer listrik independen terbesar di Singapura, mengatakan di situs webnya bahwa mereka akan menghentikan operasi ritel listrik pada 11 November, karena "kondisi pasar listrik saat ini".
Sementara itu, tiga pesaing iSwitch, yakni Diamond Electric, Best Electricity Supply dan Ohm Energy telah berhenti menerima pelanggan baru dengan Diamond Electric dalam proses menyerahkan kontrak berjangka yang ada ke penyedia utilitas lain.
iSwitch menolak berkomentar, sementara Diamond Electric, Best Electricity Supply dan Ohm Energy tidak menanggapi permintaan komentar melalui email.
"Pengecer tidak hanya tidak dapat menjual kepada pelanggan ritel pada tingkat yang ekonomis karena tarif triwulanan yang ditetapkan jauh di bawah harga di pasar berjangka dan juga pasar spot," kata kepala energi global di Simpson Spence Young, James Whistler, seperti dikutip dari The Straits Times, pada Senin (18/10).
Alhasil, saat ini hanya ada 8 dari total 12 pengecer listrik independen yang menawarkan paket untuk konsumen. "Dengan lonjakan harga energi, beberapa pengecer Singapura sekarang berpotensi menutup pintu mereka," kata seorang pelaku industri.
Menurut informasi di situs web Energy Market Authority (EMA), pasar listrik eceran Singapura dibuka untuk persaingan bagi konsumen bisnis pada 2001, dan untuk rumah tangga perumahan pada 2018.
Singapura adalah negara paling terdepan di Asia Tenggara yang melakukan transisi energi fosil ke energi baru terbarukan. Dalam laporan Forum Ekonomi Dunia (WEF), Singapura memiliki indeks transisi energi hingga 67 poin, tertinggi di Asia Tenggara, atau peringkat 21 dari 115 negara dunia. Simak databoks berikut:
Lonjakan harga gas, yang naik ke rekor tertinggi di Eropa dan Asia bulan ini, juga memukul penyedia utilitas di Inggris, di mana sejumlah perusahaan energi telah runtuh, memaksa sekitar 1,7 juta pelanggan sejauh ini untuk beralih penyedia.
Cina dan India sedang dilanda kekurangan listrik dan pemadaman listrik. Di Singapura, tarif listrik dihitung dengan menggunakan biaya bahan bakar dan biaya non bahan bakar.
Komponen biaya bahan bakar untuk setiap triwulan dihitung dengan menggunakan rata-rata harga gas bumi harian pada periode dua setengah bulan pertama pada triwulan sebelumnya sedangkan biaya non bahan bakar dihitung berdasarkan biaya pembangkitan dan pengiriman tenaga listrik ke rumah.
Singapore LNG Corp saat ini sedang mencari kargo LNG dan menjajaki opsi untuk meningkatkan persediaan LNG di terminalnya mengingat pasokan LNG global yang ketat.
Harga daya beban komersial telah meningkat sebesar 50 persen dari tahun lalu dan diperkirakan akan naik lebih tinggi, kata Whistler.
"Ini adalah perbedaan yang cukup besar untuk sebuah negara yang telah relatif terbiasa dengan listrik dengan harga terjangkau sekarang bergerak ke pasar yang kurang kompetitif dan pada dasarnya tunduk pada harga komoditas global juga."
Regulator energi di Singapura akan terus bekerja sama dengan para perusahaan pengecer listrik yang masih menghadapi tantangan dari pasar listrik yang bergejolak. Sehingga dipastikan tak akan dan gangguan pasokan listrik untuk para pelanggan.
Otoritas Pasar Energi (EMA) menyebut harga pasar listrik Singapura yang ditentukan setiap setengah jam tergantung pada kondisi permintaan dan pasokan, telah terpukul volatilitas harga energi yang lebih tinggi. Khususnya selama dua pekan terakhir ini.
Misalnya seperti peningkatan permintaan gas alam cair di pasar global yang berdampak pada harga, kemudian permintaan listrik yang lebih tinggi daripada biasanya. Lalu, ada juga pembatasan gas alam pipa dari West Natuna dan rendahnya pasokan gas dari Sumatera Selatan.
"Beberapa mungkin merasa sulit untuk mempertahankan operasi mereka dan mungkin memilih untuk keluar dari pasar. Ini adalah konsekuensi dari keputusan bisnis mereka," kata EMA dikutip dari Reuters.