BBM Solar Subsidi Sempat Langka, DPR Tuding BPH Migas Lalai
DPR menuding BPH Migas tidak mengantisipasi dengan baik lonjakan permintaan bahan bakar minyak (BBM) jenis solar bersubsidi seiring dengan turunnya level PPKM. Akibatnya, terjadi kelangkaan di sejumlah daerah di Indonesia.
Anggota Komisi VII DPR Kardaya Warnika, menilai kelangkaan yang sempat terjadi beberapa waktu lalu itu lantaran proyeksi BPH Migas akan kebutuhan solar bersubsidi tahun ini meleset. Menurut dia penetapan kuota BBM tahun ini hanya membandingkan kebutuhan BBM pada 2020.
Padahal tahun ini diharapkan kasus Covid-19 mulai melandai. Sehingga, seharusnya BPH Migas dapat membandingkan kebutuhan solar bersubsidi tahun ini dengan keadaan sebelum virus Covid-19 muncul.
"Tahun 2021 dibandingkannya dengan 2020. Tahun ini kan diharapkan Covid-19 mereda. Kalau mau diprediksi 2021 pada akhir ini haruslah proyeksikan dari keadaan sebelum terjadi Covid-19. Jadi pertama salah prediksi," kata Kardaya dalam acara Energy Corner, Senin (25/11).
Anggota komite BPH Migas, Saleh Abdurrahman mengatakan penyaluran solar bersubsidi pada tahun ini secara nasional dipatok sebesar 15,8 juta kilo liter (KL). Sementara jika dilihat perkembangannya, dari periode Januari-Juni konsumsi hariannya dapat mencapai sekitar 35 ribu KL.
Kemudian pasca PPKM dilonggarkan konsumsi BBM pun mulai naik. Sehingga di bulan September kenaikan konsumsinya mencapai 44 ribu KL.
"Tentu saja ini langsung kami sikapi. Ketika kita mengatur solar subsidi ini, kita mengatur secara ketat pada tingkat Kabupaten, Kota, Provinsi bahkan sampai Badan Penyalur," ujarnya.
Oleh sebab itu, BPH Migas menerbitkan surat pelonggaran distribusi solar bersubsidi untuk mengatasi kekurangan kuota pasca-penurunan level PPKM. Dalam relaksasi tersebut badan penyalur seperti Pertamina diberi kewenangan melakukan penyesuaian kuota untuk daerah yang under dan over kuota.
Sementara, jika diukur kelangkaan dari sisi stok untuk Jenis BBM Tertentu (JBT) atau BBM bersubsidi, laporan per 24 Oktober menunjukkan stok solar bersubsidi di angka 1,3 juta KL atau 17 hari. "Ini kondisi yang kami dapatkan, sehingga ini kami katakan kondisi kelangkaan bersifat pasca relaksasi tersebut," ujarnya.
Namun menurut Kardaya langkah BPH Migas dalam menyikapi kelangkaan solar subsidi di sejumlah daerah masih belum optimal. Utamanya melalui penerbitan surat pelonggaran distribusi solar bersubsidi tersebut.
Pasalnya, enam hari setelah surat tersebut keluar dia masih menemui masalah di lapangan terkait kelangkaan solar subsidi. Misalnya seperti yang terjadi di para sopir truk dan bus yang melintasi Jalur Pantura.
"Sopir sopir menjerit gak ada solar itu 6 hari setelah surat BPH Migas keluar. Ternyata masih gak ada. Beliau-beliau hanya dari jauh saja gak pernah turun sama sekali karena apa yang disampaikan sama yang terjadi gak sama," katanya.