Dua Sisi Lonjakan Harga Batu Bara: Produsen Untung, Smelter Dirugikan
Harga batu bara acuan (HBA) April 2022 melonjak US$ 84,71 menjadi US$ 288,40 per ton dibandingkan bulan sebelumnya US$ 203,69 per ton. Lonjakan ini terjadi setelah usai Amerika Serikat (AS) dan NATO mengembargo pasokan energi dari Rusia.
Selain faktor sanksi terhadap pasokan energi Kremlin, kenaikan HBA bulan ini disebabkan oleh pulihnya aktivitas perekonomian global pasca Pandemi Covid-19 yang mendongkrak tingginya permintaan batu bara global, khususnya di Cina.
Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, menjelaskan kenaikan harga batu bara acuan berdampak positif terhadap penerimaan negara dari perpajakan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Ia pun menyebut, tingginya HBA menjadi momentum untuk meningkatkan produksi batu bara secara nasional.
“Kenaikan HBA ini akan mendorong industri batu bara berkembang secara signifikan karena akan memberikan efek yang besar terhadap industri pendukung seperti industri transportasi baik darat dan laut serta industri batu bara itu sendiri,” kata Mamit kepada Katadata.co.id, Rabu (6/4).
Akan tetapi, kenaikan HBA ini memiliki dampak negatif bagi industri dalam negeri yang tidak memdapatkan insentif dari pemerintah, seperti smelter dan pengolahan baja.
Pada awal bulan lalu, Kementerian ESDM menetapkan kebijakan harga batu bara untuk sektor industri sebesar US$ 90 per ton, yang diatur dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 58.K/HK.02/MEM.B/2022 tentang Harga Jual Batubara untuk Pemenuhan Kebutuhan Bahan Baku/Bahan Bakar Industri di Dalam Negeri.
Berdasarkan Kepmen tersebut, penetapan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian pemenuhan kebutuhan batu bara sebagai bahan bakar industri di dalam negeri. Namun harga US$ 90 per ton dipastikan tak berlaku untuk industri pengolahan dan pemurnian mineral logam atau smelter.
“Nah untuk industri-industri smelter dan pengolahan baja akan memberatkan dengan harga yang semakin tinggi ini. Dampaknya pada biaya pokok produksi mereka yang meningkat dan ke depan akan menjadi beban bagi konsumen,” ujar Mamit.
Adapun penentuan HBA merupakan harga yang diperoleh dari rata-rata indeks Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), Globalcoal Newcastle Index (GCNC), dan Platt's 5900 pada bulan sebelumnya, dengan kualitas yang disetarakan pada kalori 6.322 kcal/kg GAR, total moisture 8%, total sulphur 0,8%, dan ash 15%.
“Walaupun mungkin industry smelter dan pengolahan baja tidak sampai US$ 288,40 per ton ya karena ada perhitungan kadar kalori yang diperhitungkan. Kalau nilai kalorinya di bawah dari yang ditetapkan harganya beda lagi,” jelasnya.
Sementara itu, Head of Corporate Communication Adaro Energy, Febriati Nadira, mengatakan PT Adaro Energy menyambut baik kenaikan HBA yang semakin kondusif.
Dia menambahkan bahwa Adaro akan terus mengikuti perkembangan pasar dengan tetap menjalankan kegiatan operasional sesuai rencana di tambang-tambang milik perusahaan dengan fokus untuk mempertahankan marjin dan kontinuitas pasokan ke pelanggan.
“Harga Batu bara memang mengikuti siklusnya dan tidak dapat diprediksi. Kami harus memastikan bahwa bisnis ini akan dapat bertahan di tengah berbagai siklus melalui aktivitas bisnis yang stabil dan berkelanjutan,” kata Nadira melalui pesan singkat kepada Katadata.co.id.
Dia juga mengatakan bahwa tahun ini Adaro menetapkan produksi batu bara sabanyak 60 juta ton, dengan belanja modal mencapai US$ 450 juta. Adapun dengan kenaikan HBA tersebut, Adaro tetap melakukan ekspor di wilayah Asia Tenggara, Cina, Asia Timur, India, Selandia Baru.
Pada tahun 2021, komposisi penjualan pasar ekspor sebesar 72%. Wilayah Asia Tenggara dan Asia Timur menduduki posisi tertinggi untuk destinasi ekspor yang masing masing mengambil porsi 20%, lalu Cina 19%, India 11%, dan 2% ke negara-negara lainnya. “Komposisi penjualan domestik Adaro sebesar 28%,” tukasnya.