RI Raup Rp 9,9 T dari Ekspor Nikel pada Januari, 85% Dikirim ke Cina

Muhamad Fajar Riyandanu
17 Februari 2023, 13:39
ekspor nikel, hilirisasi nikel,
PT Antam TBK
Ilustrasi nikel.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat hasil ekspor produk olahan hilirisasi bijih nikel mencapai 81 ribu ton dengan nilai penjualan mencapai US$ 654,5 juta atau sekira Rp 9,9 triliun sepanjang Januari 2023.

Komoditas olahan tersebut terkonsentrasi pada produk HS 7501 yang terdiri dari nikel matte, sinter oksida nikel dan produk antara (Intermediate Products) dari metalurgi nikel.

Cina menjadi negara tujuan ekspor terbesar dengan total volume pengiriman 69,5 ribu ton atau 85,8%. Besaran tersebut berkontribusi pada nilai transaksi sebesar US$ 467,7 juta atau sekira Rp 7,1 triliun.

Jepang menjadi pembeli terbesar selanjutnya dengan jumlah pengiriman 6,6 ribu ton senilai US$ 119,5 juta atau sekira Rp 1,8 triliun. Selanjutnya ada Norwegia dengan total ekspor 4,7 ribu ton senilai US$ 67,2 triliun atau ditaksir mencapai Rp 1 triliun.

Nikel matte merupakan hasil olahan bijih nikel saprolite kadar tinggi 1,5% hingga 3% yang dimurnikan di smelter berteknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF).

Komoditas besi dan baja anti karat merupakan hasil produk lanjutan dari pengolahan nikel matte. Sementara sinter oksida nikel meruapakan komoditas antara yang digunakan untuk memproduksi baja paduan atau alloy steel.

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat torehan ekspor Feronikel dan Nickel Pig Iron atau NPI sepanjang 2022 sejumlah 5,8 juta ton.

Hasil hilirisasi bijih nikel itu akan menjadi modal utama dari bahan baku pembuatan produk olahan lanjutan berupa lembaran besi tahan karat atau stainless steel dan hot rolled (hr) stainless steel. Produk NPI juga merupakan bahab baku dari pembuatan besi dan baja anti karat.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyampaikan pemerintah memerlukan investasi sebesar Rp 15 triliun untuk mendirikan pabrik pembuatan lembaran besi tahan karat berkapasitas 1,07 juta ton per tahun.

Langkah ini dinilai menjadi kewajiban mendasar di tengah program hilirisasi komoditas mineral yang berjalan serempak pada pertengahan 2023.

Di sisi lain, pemerintah juga perlu menyiapkan biaya investasi hingga Rp 8,5 triliun untuk membuat smelter pengolahan produk lanjutan hr stainless steel dengan kapasitas produksi 1,07 juta ton per tahun.

"Untuk nikel dan konsetratnya sudah dilarang ekspor sehingga potensi hilirasi dimulai dari feronikel dan NPI sebesar 5,8 juta ton," kata Agus dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi VII DPR pada Selasa (14/2).

Menurut catatan Kemenperin per Februari 2023, terdapat 91 unit pabrik pengolahan mineral di dalam negeri, dengan rincinan 48 smelter eksisting dan 43 smelter yang masih dalam tahap studi kelayakan dan konstruksi.

Smelter yang sudah beroperasi didominasi oleh smelter nikel dengan 36 unit, 6 unit smelter besi baja, 2 smelter tembaga, dan 4 smelter aluminium.

Rata-rata kapasitas produksi smelter secara tahunan di kisaran 262 ribu ton per unit dan smelter besi baja berkapasitas produksi 1,6 juta ton per tahun. Lebih lanjut, smelter tembaga berkapasitas 150 ribu ton per tahun dan smelter aluminium 544 ribu ton per tahun.

"Kemenperin fokus pada lima komoditas untuk hilirisasi yaitu industri berbasi bijih tembaga, bijih besi dan pasir besi, industeri bijih nikel dan bauksit," ujar Agus.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu
News Alert

Dapatkan informasi terkini dan terpercaya seputar ekonomi, bisnis, data, politik, dan lain-lain, langsung lewat email Anda.

Dengan mendaftar, Anda menyetujui Kebijakan Privasi kami. Anda bisa berhenti berlangganan (Unsubscribe) newsletter kapan saja, melalui halaman kontak kami.
Advertisement

Artikel Terkait