Ditarget Rampung Desember, Aturan RUU EBT Masih Berpotensi Bebani PLN

Image title
13 Agustus 2021, 19:01
ebt, ruu ebt, pln, energi baru terbarukan
ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Teknisi melakukan perawatan instalasi panel listrik tenaga surya di Hotel Wujil, Ungaran, Jawa Tengah, Rabu (30/10/2016)

Proses perumusan Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Terbarukan (EBT) yang awalnya ditargetkan selesai pada Oktober 2021 akhirnya kembali mundur. Komisi VII DPR RI memproyeksi pembahasan RUU ini baru akan tuntas pada Desember tahun ini.

Anggota Komisi VII Andi Yuliani Paris mengatakan bahwa RUU EBT diharapkan dapat menjadi landasan dalam mengaloasikan anggaran untuk pengembangan pembangkit listrik EBT. Andi membeberkan, ada beberapa ketentuan dalam RUU EBT yang dapat menjadi pendorong bauran EBT 23% pada 2025.

"Salah satunya yakni pada ketentuan pasal 40. Pada pasal itu disebutkan terdapat kewajiban badan usaha untuk melakukan pembelian listrik dari energi terbarukan. Ketika ada kata 'wajib', di undang-undang berarti ada sanksi. Kami periksa bagaimana sanksinya," ujarnya dalam bincang-bincang METI secara virtual, Jumat (13/8).

Pada pasal tersebut disebutkan bahwa PLN wajib membeli tenaga listrik yang dihasilkan dari energi baru terbarukan. Artinya perusahaan setrum pelat merah ini berpotensi terkena sanksi jika tidak memenuhi kewajiban yang sudah diatur dalam undang-undang.

Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Prof. Mukhtasor menilai ketentuan yang ada dalam RUU EBT menimbulkan kekhawatiran. Terutama pada pasal yang mewajibkan PLN membeli listrik yang bersumber dari energi terbarukan.

Menurut dia dengan adanya pasal 40 ini, ada risiko terjadinya kelebihan pasokan listrik dan membengkaknya biaya pokok penyediaan listrik (BPP) PLN. "Ada risiko pada portofolio PLN, sebagai BUMN akan jelek karena ambil lebih mahal daripada harga jualnya, Nasib PLN tergantung pemerintah," kata dia.

Selain itu, ia juga menyoroti pasal 51 dalam RUU EBT yang mengatur mengenai skema feed-in tariff sebagai dasar harga jual listrik dari swasta ke PLN. Dalam pasal ini diatur bahwa dana APBN secara legal wajib digunakan untuk menutup kerugian PLN ketika membeli listrik lebih mahal dari swasta.

Ia menilai APBN memiliki keterbatasan. Jika suatu saat ada risiko yang harus ditanggung, misalnya, jika pemerintah tak mampu membayarkan kompensasi tersebut, maka tak tertutup kemungkinan ini akan menyebabkan naiknya tarif listrik ke masyarakat.

Jika tarif listrik naik, maka perekonomian akan terganggu. Oleh karena itu ia menyarankan agar strategi untuk mengkompensasi listrik dapat diubah. Misalnya dari kompensasi menjadi dana investasi. "Ada kompensasi, maka APBN kita akan mendapatkan tekanan tambahan," ujarnya.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...