Ditarget Rampung Desember, Aturan RUU EBT Masih Berpotensi Bebani PLN
Proses perumusan Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Terbarukan (EBT) yang awalnya ditargetkan selesai pada Oktober 2021 akhirnya kembali mundur. Komisi VII DPR RI memproyeksi pembahasan RUU ini baru akan tuntas pada Desember tahun ini.
Anggota Komisi VII Andi Yuliani Paris mengatakan bahwa RUU EBT diharapkan dapat menjadi landasan dalam mengaloasikan anggaran untuk pengembangan pembangkit listrik EBT. Andi membeberkan, ada beberapa ketentuan dalam RUU EBT yang dapat menjadi pendorong bauran EBT 23% pada 2025.
"Salah satunya yakni pada ketentuan pasal 40. Pada pasal itu disebutkan terdapat kewajiban badan usaha untuk melakukan pembelian listrik dari energi terbarukan. Ketika ada kata 'wajib', di undang-undang berarti ada sanksi. Kami periksa bagaimana sanksinya," ujarnya dalam bincang-bincang METI secara virtual, Jumat (13/8).
Pada pasal tersebut disebutkan bahwa PLN wajib membeli tenaga listrik yang dihasilkan dari energi baru terbarukan. Artinya perusahaan setrum pelat merah ini berpotensi terkena sanksi jika tidak memenuhi kewajiban yang sudah diatur dalam undang-undang.
Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Prof. Mukhtasor menilai ketentuan yang ada dalam RUU EBT menimbulkan kekhawatiran. Terutama pada pasal yang mewajibkan PLN membeli listrik yang bersumber dari energi terbarukan.
Menurut dia dengan adanya pasal 40 ini, ada risiko terjadinya kelebihan pasokan listrik dan membengkaknya biaya pokok penyediaan listrik (BPP) PLN. "Ada risiko pada portofolio PLN, sebagai BUMN akan jelek karena ambil lebih mahal daripada harga jualnya, Nasib PLN tergantung pemerintah," kata dia.
Selain itu, ia juga menyoroti pasal 51 dalam RUU EBT yang mengatur mengenai skema feed-in tariff sebagai dasar harga jual listrik dari swasta ke PLN. Dalam pasal ini diatur bahwa dana APBN secara legal wajib digunakan untuk menutup kerugian PLN ketika membeli listrik lebih mahal dari swasta.
Ia menilai APBN memiliki keterbatasan. Jika suatu saat ada risiko yang harus ditanggung, misalnya, jika pemerintah tak mampu membayarkan kompensasi tersebut, maka tak tertutup kemungkinan ini akan menyebabkan naiknya tarif listrik ke masyarakat.
Jika tarif listrik naik, maka perekonomian akan terganggu. Oleh karena itu ia menyarankan agar strategi untuk mengkompensasi listrik dapat diubah. Misalnya dari kompensasi menjadi dana investasi. "Ada kompensasi, maka APBN kita akan mendapatkan tekanan tambahan," ujarnya.
Menurut Prof. Mukhtasor pemerintah bisa mengedukasi masyarakat untuk menggunakan panel surya, namun tidak bisa mengedukasi dirinya sendiri dalam mengelola negara.
Beberapa pihak lainnya sebelumnya juga menilai sejumlah klausul dalam RUU EBT yang saat ini tengah digodok DPR tidak adil bagi PLN. Salah satunya adalah aturan yang mirip mekanisme "take or pay".
Mekanisme ini sudah berlaku dalam penyediaan listrik dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) oleh produsen listrik swasta (independent power producer/IPP). Mekanisme take or pay mewajibkan PLN menyerap listrik dari pembangkit IPP dengan minimal yang tertera dalam perjanjian jual beli listrik (power purchase agreement/PPA).
Ini artinya, jika PLN tidak dapat menyerap listrik dari IPP, maka akan terkena denda. Direktur Eksekutif Indonesian Resource Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan bahwa skema take or pay menimpakan risiko usaha kelistrikan kepada negara.
Dalam mekanisme itu, negara melalui PLN harus membayar penyedia listrik swasta sesuai kontrak meski dayanya tidak terpakai. “Investor itu menjadi seolah-olah tidak ikut menanggung potensi kerugian. Padahal dalam bisnis ada untung ada rugi,” kata dia.
Menurutnya mekanisme take or pay memastikan keuntungan bagi IPP atau investor. Sementara bagi negara dan PLN harus menanggung risiko kerugian. Oleh karena itu, mekanisme tersebut tidak bisa diterima.
Dia menyayangkan mekanisme tersebut sudah berjalan. Adapun dalam RUU EBT yang tengah dibahas di DPR, kata Marwan, mekanisme serupa juga akan diterapkan. PLN wajib membeli berapapun daya yang disediakan IPP EBT swasta.
"Kewajiban itu tidak memandang apakah PLN butuh atau tidak. Padahal saat ini PLN sedang kelebihan daya," kata dia. "Dampak berat take or pay paling terasa sejak 2019. Konsumsi listrik turun, sementara biaya yang harus dibayar tetap. Pandemi membuat konsumsi turun. Sekarang cadangan daya sudah di atas 35% dari idealnya 30%."