Ekonom: Transisi EBT Jadi Kunci PLN Raih Pendanaan di Masa Depan

Image title
14 September 2021, 19:46
Petugas merawat panel surya yang terpasang di atap Gedung Direktorat Jenderal (Dirjen) Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (EDSM), Jakarta, Senin (24/5/2021). Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan bahwa pen
ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/hp.
Petugas merawat panel surya yang terpasang di atap Gedung Direktorat Jenderal (Dirjen) Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (EDSM), Jakarta, Senin (24/5/2021). Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan bahwa pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) akan menjadi prioritas pemerintah dalam mengakselerasi pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) sebagai target untuk mencapai "net zero emission".

Upaya pemerintah mendorong pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap di Indonesia dinilai cukup tepat. Komitmen transisi menuju energi baru terbarukan (EBT) dinilai harus menjadi fokus utama, karena ini berkaitan dengan kapasitas PLN mencari pendanaan di masa mendatang.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, semakin lambat PLN menyerap sumber energi primer dari EBT, maka diperkirakan PLN akan sulit mencari pendanaan khususnya di pasar keuangan global.

Advertisement

"Mau terbitkan surat utang pun, investor akan tanya berapa bauran energinya, berapa batubara atau energi fosil yang sudah berkurang dalam proses transisi ke EBT, misalnya," kata dia kepada Katadata.co.id, Selasa (14/9).

Bhima menawarkan solusi untuk membantu pendanaan PLN dalam rangka transisi ke EBT salah satunya dengan memanfaatkan skema pajak karbon. Melalui skema ini, diharapkan PLN akan mendapatkan dana dari sektor-sektor yang berkaitan dengan eksternalitas negatif besar ke lingkungan hidup, contohnya sektor ekstraktif.

Kemudian ada pengalokasian atau pemanfaatan dana spesifik dari pajak karbon yang bisa disalurkan ke PLN sebagai insentif beralih ke EBT. Menurutnya skema ini nantinya lebih pas dibahas di tataran peraturan presiden atau peraturan menteri.

"Yang jelas dalam revisi UU Ketentuan Umum Perpajakan sudah terbuka pembahasan adanya pajak karbon jadi hanya teknisnya saja nanti pengaturan insentif bagi PLN," katanya.

Guru besar Fakultas Teknik Elektro Universitas Indonesia Profesor Iwa Garniwa menilai penggunaan energi listrik terbesar di Indonesia saat ini faktanya adalah PLTU batu bara.

Sehingga, selain menggenjot pengembangan energi terbarukan, sebaiknya pemerintah fokus terlebih dulu mengeliminasi dampak emisi dari sektor batu bara. Misalnya, melalui implementasi dari program co-firing pada PLTU.

Sebagai ilustrasi kebutuhan bahan bakar PLTU batu bara setiap tahunnya lebih dari 100 juta ton. Andai saja jumlah tersebut 10% digantikan oleh program co-firing, maka setidaknya dibutuhkan lebih dari 10 juta ton biomassa.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement