Menteri ESDM Beberkan Strategi RI Capai Nol Emisi Karbon 2060 di COP26
Upaya pemerintah mencapai target net zero emission atau nol emisi karbon pada 2060 untuk mengatasi perubahan iklim terus diperkuat. Salah satunya dengan rencana pembangunan tol listrik atau supergrid untuk mendistribusikan energi baru terbarukan (EBT) secara merata.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan transisi energi menuju target nol emisi bersih pada 2060 membutuhkan beberapa dukungan infrastruktur, teknologi, dan pembiayaan. Seperti pengembangan interkoneksi jaringan yang berpeluang untuk mengoptimalkan pemanfaatan EBT.
Oleh sebab itu, Indonesia berencana mulai mengembangkan Supergrid mulai 2025 untuk mengatasi kesenjangan antara sumber EBT dan lokasi di daerah yang memiliki permintaan listrik yang tinggi.
"Sebagai negara kepulauan, kita perlu menyediakan akses listrik ke seluruh masyarakat lokal setempat," kata dia dalam rangkaian agenda KTT Iklim Conference of Parties 26 atau COP26 di Paviliun Indonesia, Glasgow, Skotlandia, Senin (1/10).
Sementara, penerapan teknologi tepat guna juga diperlukan untuk mengintegrasikan sumber EBT serta mengantisipasi sifat intermitten. Misalnya seperti energi matahari dan angin.
Adapun teknologi yang dibutuhkan untuk mengembangkan EBT termasuk jaringan pintar (smart grid), smart meter dan sistem penyimpanan energi termasuk pumped storage dan Battery Energy Storage System (BESS).
Sedangkan, terkait pembiayaan, Arifin menegaskan peran sektor swasta sebagai penopang finansial selain pemerintah dan lembaga keuangan sebagai aspek penting dalam meningkatkan dan mempercepat implementasi energi rendah karbon.
"Diperlukan kebijakan dan regulasi yang tepat untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif. Kami berusaha untuk mencapainya dengan menyederhanakan dan merampingkan kerangka peraturan," katanya.
Salah satunya melalui pengesahan Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT Perusahaan Listrik Negara 2021-2030 dimana porsi sumber energi berbasis EBT melebihi porsi energi fosil, yaitu sebesar 51,6% atau setara dengan 20,9 gigawatt (GW).
Ia menegaskan penambahan kapasitas pembangkit listrik hanya akan berasal dari EBT mulai 2035. "Pemanfaatan panas bumi dimaksimalkan hingga 75% dari potensi, pembangkit hidro dioptimalkan ke pusat beban di pulau-pulau kecil dalam menyeimbangkan pembangkit listrik VRE," ujarnya.
Kementerian ESDM sendiri terus menjalin kerja sama secara aktif dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta kementerian negara dan lembaga lainnya dalam memenuhi target penurunan emisi.
Meski begitu, pihaknya menyambut baik dukungan dari sektor swasta, baik di tingkat nasional maupun internasional, untuk membantu Indonesia memenuhi target ini lebih cepat.
Peta Jalan Menuju 2060
Sebagai wujud dari ambisi besar tersebut, pemerintah merumuskan peta jalan menuju netral karbon di tahun 2060 atau lebih cepat sesuai Strategi Jangka Panjang untuk Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim (Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilence/LTS-LCCR).
"Peta jalan ini juga mencakup upaya yang diperlukan dari sisi permintaan untuk mendukung transisi energi, seperti penggunaan kompor listrik, lampu LED dan gas kota," kata Arifin.
Menurut dia selama periode 2021-2025, pemerintah akan menerbitkan dan mengimplementasi regulasi antara lain terkait undang-undang tentang EBT, penghentian dini pembangkit berbasis batu bara, perluasan program Co-firing PLTU, serta konversi diesel ke gas dan EBT.
Regulasi terkait PLTS Atap diterbitkan sebagai insentif bagi masyarakat yang memasang PLTS Atap. Selain itu, kebijakan pajak karbon (cap and tax) juga disiapkan untuk mengendalikan peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) dan mengubah prilaku aktifitas ekonomi agar dapat menurunkan emisi GRK.
Pajak karbon akan diterapkan secara terbatas untuk PLTU mulai April 2022. "Pada tahun 2025, pangsa energi terbarukan ditargetkan sebesar 23% dan didominasi oleh Solar PV," kata dia.
Sementara, dari 2026 hingga 2030, Arifin memastikan tidak akan ada lagi tambahan kapasitas PLTU baru. Mengingat kapasitas yang terbangun hanya dari yang sudah berkontrak atau sedang dibangun.
Selain itu, solar PV dan kendaraan listrik akan dikembangkan secara masif, ditargetkan untuk mendukung penyediaan 2 juta kendaraan roda empat dan 13 juta roda dua. Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia dapat dicapai dengan pengurangan emisi di sektor energi sebesar 314 juta ton CO2 pada tahun 2030.
"Kami akan memulai tahap pertama penghentian PLTU dan mengurangi penggunaan diesel mulai tahun 2031. Pembangkit energi surya, hidro, dan panas bumi akan mendominasi 57% energi terbarukan pada tahun 2035," kata Arifin.
Selanjutnya pada 2036-2040 akan menjadi tahap kedua penghentian PLTU termasuk subcritical, critical dan sebagian supercritical. Sedangkan porsi EBT akan meningkat menjadi 66% yang didominasi oleh pembangkit surya, hidro, dan bioenergi. Selain itu, dilakukan pengurangan penjualan kendaraan roda dua konvensional.
Pada 2041-2045, pembangkit arus laut skala besar dan pembangkit nuklir pertama mulai Commercial Operation Date (COD). Peningkatan pemanfaatan energi terbarukan menjadi 93% yang akan didominasi oleh surya, hidro, dan bioenergi. Penjualan kendaraan roda empat konvensional juga akan berkurang.
Kemudian, periode 2051-2060 akan menjadi periode terakhir untuk penghentian PLTU. Hidrogen untuk listrik akan dikembangkan secara besar-besaran. Energi terbarukan yang dikembangkan didominasi oleh pembangkit surya, hidro, dan angin.