ESDM: Pajak Karbon Ditunda karena Harga Komoditas Energi Masih Tinggi
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyampaikan bahwa penundaan implementasi pajak karbon disebabkan karena masih tingginya harga komoditas energi global.
Pemerintah merasa kondisi tersebut menjadi pertimbangan untuk menunda sekaligus mencari momen yang tepat untuk melaksanakan pajak karbon sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP.
"Pemerintah masih melihat kapan waktu yang cocok. Dari sisi harga energi yang cukup tinggi sehingga mungkin sekarang bukan saat yang tepat untuk menerapkan pajak karbon," kata Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana saat menjadi pembicara webinar Sustainability Action For The Future Economy (SAFE) 2022 atau Katadata SAFE 2022 dengan tema "Recover Stronger Recover Sustainable", Selasa (23/8).
Rencananya, penerapan pajak karbon tahap awal akan diberlakukan bagi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Kemudian implementasinya akan diperluas untuk sektor lainnya mulai tahun 2025.
Dalam penerapannya, ada dua skema implementasi pajak karbon. Pertama melalui perdagangan karbon atau cap and trade. Institusi yang menghasilkan emisi lebih dari cap atau batas yang ditentukan, maka bisa membeli sertifikat izin emisi (SIE) dari institusi lain yang emisinya di bawah cap. Opsi lainnya, membeli sertifikat penurunan emisi (SPE).
Selanjutnya ada skema kedua melalu pajak karbon atau cap and tax yang mengatur jika suatu institusi tidak bisa membeli SIE atau SPE secara penuh atas kelebihan emisi yang dihasilkan, maka berlaku skema cap and tax. Ini berarti sisa emisi yang melebihi cap tadi akan dikenakan pajak karbon.
Adapun tarif minumum karbon ditransaksikan senilai Rp 30 per Kg CO2 atau Rp 30.000 per ton CO2 ekuivalen. "Ini sudah ada di undang-undangnya. Ini tinggal masalah waktu dan momennya yang dipastikan," ujar Dadan.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, implementasi pajak karbon yang semula direncanakan berlaku pada awal Juli 2022 ditunda karena pemerintah masih melakukan harmonisasi aturan baru tersebut dengan aturan lainnya terkait Nilai Ekonomi Karbon (NEK).
Kementerian Keuangan sebelumnya juga memperkirakan dampak penerapan pajak karbon 2023 berpotensi menambah penerimaan negara senilai Rp 194 miliar. Sedangkan dampak terhadap tambahan subsidi dan kompensasi listrik senilai Rp 207 miliar. Dari sisi inflasi, dampaknya bahkan diperkirakan tidak ada.
Pemerintah akan terus berkonsultasi dengan DPR dalam penyiapan implementasi pajak karbon. Aturan teknis pelaksanaan pajak karbon yang tengan disusun Kementerian Keuangan, antara lain tarif dan dasar pengenaan, cara penghitungan, pemungutan, pembayaran atau penyetoran, pelaporan, serta peta jalan pajak karbon.
Sementara, aturan teknis lainnya seperti batas atas emisi untuk subsektor PLTU dan tata cara penyelenggaraan nilai ekonomi karbon pada pembangkit tenaga listrik akan ditetapkan oleh Kementerian ESDM.
Menurut Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Febrio Kacaribu, pemerintah juga sedang menyusun berbagai aturan turunan dari Perpres 98/2021 agar instrumen pengendalian iklim berjalan optimal.
Ini antara lain terkait tata laksana penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dan Nationally Determined Contributions (NDC) di Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) dan Komite Pengarah Nilai Ekonomi Karbon di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.
"Isu iklim merupakan isu lintas sektor. Koordinasi akan terus kami jaga dan perkuat agar peraturan yang melengkapi satu sama lain,” kata Febrio dalam siaran pers, Jumat (1/4).