Insentif untuk Mengubah Perilaku di Bandara

Mohamad Ikhsan
Oleh Mohamad Ikhsan
23 Desember 2018, 08:00
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Mohamad Ikhsan
Ilustrator Katadata/Betaria Sarulina
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Mohamad Ikhsan

Tetapi kita dengan mudah menyaksikan orang merokok di tempat umum dan kendaraan umum. Jawabannya sangat jelas, karena perda tersebut tidak pernah dijalankan secara tegas.

Sungguh berbeda dengan penerapan larangan di Singapura. Dengan law of enforcement yang ketat, setiap larangan di Singapura berjalan sangat efektif. Masyarakat yang tidak disiplin pun berhasil dipaksa untuk mengikuti aturan untuk menghindari pengenaan denda yang sangat mahal.

Untuk membuat suatu aturan yang efektif kita harus mempelajari (nudge) bagaimana masyarakat menanggapi setiap aturan diberlakukan. Kadang faktor budaya punya peran.

Seorang ekonom senior mencoba memberlakukan aturan yang berlaku di Grameen Bank dengan mengumumkan secara terbuka nasabah yang menunggak pembayaran cicilan di Bank Perkreditan Rakyat (BPR) miliknya di Bukit Tinggi.

Alih-alih menekan tingkat tunggakan, mayoritas nasabahnya justru kabur dan sang ekonom tersebut – yang ingin meniru cerita sukses koleganya Prof. Mohamad Yunus di Bangladesh – terpaksa harus menutup BPR-nya karena bangkrut.

Insentif di Sistem Penerbangan

Apa hubungannya insentif dengan perilaku di bandara? Mari kita lihat statistik di Bandara. Sebanyak 82% perjalanan di Bandara Soekarno Hatta terjadi antara jam 05.00 pagi hingga jam 20.00 dengan dua waktu puncak yaitu jam 10.00-12.00 dan 15.00-16.00.

Frekuensi pesawat yang terbang di luar jam tersebut sangat rendah. Di antara jam 10 malam hingga jam 5 pagi, Bandara Soekarno Hatta sepi senyap hampir tanpa aktivitas kecuali beberapa penerbangan internasional.

Mari kita evaluasi mengapa terjadi penumpukan frekuensi penerbangan pada jam 10-12.00 dan jam 15.00 dan 16.00. Keduanya adalah peak hour yang permintaannya tinggi.

Perusahaan penerbangan dapat merespons pola permintaan apabila ada  perbedaan harga tiket antara peak hour dan off-peak hour. Tetapi otoritas bandara di Indonesia tidak sensitif dengan perilaku ini, sehingga memberlakukan tarif flat untuk semua waktu perjalanan.

Akibatnya, perusahaan penerbangan enggan untuk terbang pada jam di luar peak hour karena ongkos yang sama. Sementara dengan harga tiket yang lebih tinggi, tambahan pendapatan maskapai penerbangan jauh di atas biaya marjinal.

Untuk memaksa perusahaan penerbangan memindahkan pola frekuensi penerbangan, maka perlu dikenakan perbedaan tarif antara off-peak hour dan peak-hour.

Supaya efektif, perbedaan tarif harus signifikan sehingga secara nyata dirasakan perusahaan penerbangan. Pengenaan tarif yang lebih tinggi pada peak hour akan mendorong perusahaan penerbangan menghemat biaya landing atau take-off per penumpang. Jadi, dampaknya dalam jangka panjang akan lebih besar.

Meningkatnya frekuensi pesawat pada off-peak hour membuat penggunaan bandara khususnya di daerah tujuan dapat lebih efisien. Saat ini, biaya pengelolaan bandara -di luar beberapa bandara sibuk- menjadi sangat mahal bila harus membuka bandara 24 jam dengan frekuensi pesawat yang rendah. Tidak heran bila ide mengoperasikan bandara 24 jam kini hanya sebatas di atas kertas.

Insentif pun perlu ditambah dengan penalti. Flow traffic yang padat ini akan sukar dikendalikan jika tidak dimbangi dengan perilaku disiplin dari maskapai penerbangan.

(Baca juga:  Bandara Soekarno Hatta Lebih Sibuk dari Bandara Changi Singapura)

Saat ini tidak ada sanksi bagi pesawat yang seharusnya take-off jam 05.00 tetapi terlambat terbang hingga jam 08.00. Denda harus dikenakan untuk setiap pesawat yang terbang di luar slot yang telah ditetapkan. Dengan demikian semua stakeholders dipaksa harus disiplin dalam menaaati jadwal yang seharusnya.

Agar efektif dan diterima stakeholders, mekanisme sistem insentif dan penalti penggunaan runway bandara ini diberikan dengan pembebasan penentuan tarif pesawat. Kompetisi yang ketat di industri penerbangan dan dengan penerapan aturan keselamatan yang lebih baik akan menjamin harga yang adil dan berkelanjutan dalam jangka panjang.

Saya yakin keteraturan dan ketaatan akan aturan main akan menyelesaikan sebagian persoalan kemacetan di bandara. Pengalaman menunjukkan mekanisme pasar – seperti yang diterapkan Singapura- merupakan instrumen yang paling ampuh untuk memaksa berdisiplin dibandingkan tangan birokrasi yang lamban dan seringkali mudah tunduk dengan segala macam godaan.

Catatan:
1. Levitt dan Dubner telah menerbitkan empat buku populer yaitu Freakonomics, Super Freakonomics, Think like a Freak dan When to rob a Bank, yang mengaitkan dan menjelaskan kejadian sehari-hari dalam perspektif teori ekonomi yang berlandaskan common sense.

Halaman:
Mohamad Ikhsan
Mohamad Ikhsan
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Editor: Yuliawati

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...