- Total utang dan kerugian Garuda membengkak tahun lalu.
- Muncul sejumlah opsi untuk penyelesaian masalah Garuda dari penyelamatan hingga menutup maskapai penerbangan tersebut.
- DPR minta opsi likuidasi menjadi pilihan terakhir.
Maskapai penerbangan negara PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA), tak henti-hentinya dirundung masalah. Kini utang dan kerugiannya semakin besar, ditambah lagi dampak pandemi Covid-19 saat ini yang mengganggu operasional perusahaan.
Selama ini pemerintah telah berupaya melakukan penyelamatan Garuda melalui pembenahan internal dengan merombak direksi hingga menambah penyertaan modal. Namun, upaya tersebut belum juga mendapatkan hasil.
Bahkan, di tengah pandemi Covid-19 tahun lalu, total utang Garuda Indonesia membengkak berkali-kali lipat hingga mencapai US$ 10,36 miliar (Rp 147,75 triliun) pada kuartal III-2020. Kerugiannya pun naik dari US$ 122,42 juta (Rp 1,75 triliun) menjadi US$ 1,07 miliar (Rp 15,26 triliun).
Asosiasi Transportasi Udara Internasional memprediksi kerugian di industri penerbangan akan terus terjadi. Tahun ini industri penerbangan dunia diperkirakan mengalami kerugian hingga US$ 6 miliar per bulan. Pemulihan ekonomi yang lambat akibat pandemi masih menjadi beban. Jumlah penumpang baru akan kembali seperti sebelum pandemi pada 2024.
Pemerintah pun kelimpungan mencari cara untuk keluar dari permasalahan ini. Beragam opsi mucul mulai dari mempertahankan keberadaan maskapai penerbangan pelat merah ini, hingga menutupnya.
Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan industri penerbangan tengah sulit, kapasitas bandara rata-rata hanya terisi 15%, paling tinggi 32%. Kondisi ini tentu berdampak pada Garuda Indonesia. "Kami harus melakukan terobosan, perbaikan, tidak mungkin didiamkan," ujarnya dalam konferensi pers di Kementerian BUMN, Jakarta, Rabu (2/6).
Berdasarkan dokumen berlogo Kementerian BUMN yang didapat Katadata.co.id, ada empat opsi atau pilihan dalam upaya menyelesaikan masalah maskapai pelat merah ini. Opsi-opsi ini merujuk pada upaya yang pernah dilakukan di beberapa negara. Namun, keempat opsi ini juga memiliki konsekuensinya masing-masing.
Opsi pertama, pemerintah akan terus mendukung Garuda, melalui pemberian pinjaman atau suntikan modal. Opsi ini juga dilakukan oleh Singapura, Hong Kong, dan Tiongkok. Masalahnya, opsi ini berpotensi membuat Garuda meninggalkan utang warisan yang besar yang akan membuat situasi yang menantang pada masa depan.
Anak usaha Temasek Holdings, Singapore Airlines membukukan kerugian dua tahun berturut-turut hingga S$ 4,27 miliar dan berencana menerbitkan obligasi konversi S$ 6,2 miliar. Penerbitan surat utang ini merupakan bagian penyelamatan Singapore Airlines senilai S$ 15 miliar oleh Temasek Holdings tahun lalu.
Cathay Pacific Airways juga mengumumkan kerugian US$ 2,8 miliar tahun lalu. Akibatnya, perusahaan ini pun mengajukan bailout lebih dari US$ 5 miliar kepada pemerintah Hong Kong dan pemegang saham.
Opsi kedua, menggunakan hukum perlindungan kebangkrutan dalam merestrukturisasi Garuda Indonesia. Dengan pilihan ini, Garuda akan menggunakan legal bankruptcy process untuk merestrukturisasi kewajiban seperti utang, sewa dan kontrak kerja. Pemerintah juga akan mempertimbangkan opsi penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).
Opsi ini bisa saja memperbaiki sebagian masalah utang dan penyewaan pesawat, tetapi tidak memperbaiki masalah dasar seperti budaya dan nilai-nilai perusahaan. Ini pernah terjadi pada maskapai asal Amerika Latin, Latam Airlines Group yang memiliki utang hingga US$ 7 miliar.
Latam mengajukan perlindungan kebangkrutan ke pengadilan Amerika Serikat (AS), agar bisa tetap beroperasi sembari merestrukturisasi utangnya. Permohonan diajukan setelah maskapai terpukul pandemi Covid-19. Latam menjaminkan aset senilai US$ 21 miliar dalam mengajukan perlindungan kebangkrutan.
Opsi ketiga, mendirikan perusahaan maskapai nasional baru dan Garuda dibiarkan melakukan restrukturisasi. Perusahaan penerbangan baru ini akan mengambil alih sebagian besar rute Garuda di dalam negeri.
Belgia pernah menjalankan opsi ini dengan membentuk SN Brussels Airlines. Perusahaan ini mengambil alih aset Belgian Corporation for Air Navigation Services (Sabena) yang mengalami kebangkrutan pada 2007. Sama halnya dengan pemerintah Swiss.
Mengutip dokumen tersebut, estimasi modal yang dibutuhkan untuk mendirikan maskapai baru, sebesar US$ 1,2 miliar. Nilai investasi ini lebih rendah dari total liabilitas Garuda Indonesia yang mencapai US$ 10 miliar.
Opsi keempat, Garuda akan dilikuidasi. Pemerintah mendorong sektor swasta untuk meningkatkan layanan udara, misalnya dengan pajak bandara atau subsidi rute yang lebih rendah. Namun, Indonesia tidak lagi memiliki national flag carrier.
Opsi ini pernah dilakukan di Brasil dengan menutup Varig Airlines akibat bangkrut pada 2005 dan Hunggaria yang menutup Malev Hungarian Airlines setelah dinyatakan bangkrut pada 2012. Setelah itu hanya maskapai swasta yang melayani penerbangan di dua negara tersebut.
Pemerintah belum memutuskan opsi apa yang akan dijalankan. Namun, Kementerian BUMN dan manajemen Garuda Indonesia telah mendiskusi hal ini bersama Wakil Ketua DPR Rachmat Gobel dan Wakil Ketua Komisi VI DPR Martin Manurung beberapa waktu lalu.
"Tentu kami harapkan likuidasi jadi solusi terakhir dan kami tidak mengharapkan hal itu. Saya percaya manajemen bisa mencari solusinya," ujar Gobel di Kantor Pusat Garuda Indonesia, Jakarta, Rabu (2/6).
Dari pertemuan tersebut, Gobel mengaku mendapatkan banyak informasi mengenai kesulitan yang dialami Garuda Indonesia saat ini dan sejauh mana langkah yang sudah ditempuh manajemen untuk menangani krisis keuangan. Dia mendukung langkah manajemen dalam menyehatkan kembali Garuda.
Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Garuda Indonesia Prasetio mengatakan kemungkinan empat opsi tersebut digabung atau dipilih salah satu. "Opsi mana yang akan dipilih, saya rasa pasti nanti akan memberikan yang terbaik buat Garuda, itu yang penting," ujarnya.
Serikat Bersama (Sekber) Serikat Karyawan Garuda Indonesia sepertinya lebih memilih opsi pertama. Ini terlihat dari surat yang dikirimkan Sekber kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), saat hari Kesaktian Pancasila 1 Juni 2021. Sekber merupakan gabungan dari tiga wadah karyawan GIAA, yakni Serikat Karyawan Garuda Indonesia (Sekarga), Asosiasi Pilot Garuda (APG), dan Ikatan Awak Kabin Garuda Indonesia (Ikagi).
Pengamat industri penerbangan Gatot Raharjo menilai dari keempat opsi tersebut, tiga di antaranya berkaitan dan harus dijalankan bersamaan. Pemberian stimulus dalam batas tertentu untuk operasional sangat diperlukan saat ini, karena arus kas sudah tersendat. Namun, ini harus disertai dengan restrukturisasi utang dan restrukturisasi perusahaan
Setelah itu Garuda dibiarkan tumbuh sesuai mekanisme pasar. Pemerintah jangan terlalu dalam mempengaruhi bisnis Garuda. "Misalnya jangan terlalu banyak meminta Garuda menjual harga tiket tertentu, tapi sesuaikan saja dengan harga pasar," ujarnya kepada Katadata.co.id, Senin (7/6).
Meski begitu, campur tangan pemerintah diperlukan dalam pembenahan operasional Garuda. Misalnya, harga avtur dan mekanisme pembelian yang tidak memberatkan maskapai. Karena avtur itu dikuasai Pertamina dan di bawah Kementerian BUMN, seharusnya bisa lebih mudah mengaturnya.
Pemerintah juga perlu mengatur mekanisme pentarifan, agar tidak terjadi persaingan harga antara penerbangan full service dan LCC (berbiaya rendah). Kemudian pembenahan pemberian rute dan slot berdasarkan banyaknya permintaan dan penawaran (supply and demand) juga diperlukan.
Meski opsi-opsinya belum diputuskan, Garuda terus melakukan upaya restrukturisasi dan bernegosiasi ulang dengan lessor atau pihak pemberi sewa pesawat. Menjelang akhir tahun lalu, manajemen perusahaan menyebutkan tengah bernegosiasi dengan 31 lessor pesawat terkait dengan sewa pesawat.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan akan mempercepat penyelesaian masa sewa pesawat sebelum jatuh tempo. Beberapa waktu lalu, Garuda mengembalikan dua armada Boeing 737-800 NG kepada salah satu lessor.
"Langkah strategis Garuda Indonesia dalam mengoptimalisasikan produktivitas armada dengan mempercepat jangka waktu sewa pesawat," ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (7/6).
Efisiensi lain pun dijalankan, salah satunya dengan mengurangi jumlah karyawan dan komisaris. Menteri Erick mengatakan komisaris Garuda akan dikurangi dari lima orang, menjadi tiga orang. Garuda pun akan difokuskan melayani penerbangan domestik.
Halaman selanjutnya: Utang Garuda Membengkak Tiga Kali Lipat di 2020