Mendobrak Mitos Audit BPK dan Opini WTP

Mutia Rizal
Oleh Mutia Rizal
5 Juni 2017, 09:24
Jokowi
Katadata
Pimpinan dan anggota BPK menyampaikan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2016 dan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) kepada Presiden, Jakarta (5/10).

Alhasil, ditengarai pemberian persetujuan anggaran menjadi lebih mudah dan sekaligus sebagai sarana menormalisasi politik anggaran. Legitimasi ini melanggengkan mitos bahwa opini hasil audit keuangan WTP sebagai sebuah prestasi yang membanggakan.

Di lain pihak, legitimasi atas mitos prestasi ini juga berfungsi mengukuhkan budaya kepatuhan di lingkungan birokrasi. Artinya, semakin instansi pemerintah ingin memperoleh prestasi tersebut, semakin perlu menaikkan kadar kepatuhan terhadap aturan dan standar.

Di sisi lain, budaya kepatuhan terhadap aturan yang melanggengkan mitos tersebut tidak bebas dari permasalahan. Standar dan aturan formal adalah produk dari rasionalitas Weberian yang menganggap kegiatan birokrasi akan efektif dan efisien jika segala sesuatunya dibentuk dan ditentukan dengan sebuah standar dan aturan.

Yang dituntut oleh standar dan aturan ini adalah kepatuhan. Namun, seringkali kepatuhan yang berlebihan melupakan kepatutan. Nilai-nilai luhur dan etika kemudian terpinggirkan.

Dalam beberapa kasus penyusunan maupun penggunaaan anggaran, secara standar dan aturan telah benar. Namun, secara substansi bisa jadi hal tersebut tak sesuai dengan kepatutan yang ada di masyarakat.

Contohnya, acara rapat koordinasi sebuah instansi yang memakan biaya ratusan juta telah diselenggarakan di sebuah kota tertentu seolah-olah tidak menyalahi aturan. Namun, ternyata pemilihan waktu dan tempat rapat tersebut disesuaikan dengan adanya acara pernikahan anak seorang pejabat di instansi itu.

Kegiatan ini tidak melanggar kepatuhan, tetapi tidak sesuai dengan azas kepatutan. Banyak pegawai kelas bawah yang sebenarnya merasa terusik dengan ketidakpatutan tersebut.

Rezim kepatuhan terhadap standar dan aturan telah disuburkan oleh audit keuangan BPK. Instrumentalisme semakin tumbuh subur. Aturan dan standar yang tadinya dimaksudkan hanya sebagai sarana mengatur, kini semakin meningkat derajatnya menjadi tujuan.

Semua berlomba-lomba mengejar prestasi opini audit BPK dan sering melupakan tujuan dasar meningkatkan nilai layanan publiknya.

Banyak terjadi mundurnya pejabat pengadaan yang ketakutan jeratan hukum dan aturan karena rezim kepatuhan terus ditumbuhkan. Keampuhan efek audit keuangan ini pun sebenarnya sejalan dengan kasus kriminalisasi pejabat atau pegawai dalam melaksanakan tugasnya.

Standar juga berefek negatif terhadap efisiensi, yang sebenarnya sebuah tujuan yang ingin disasar oleh birokrasi itu sendiri. Terjadi paradoks di sini.

Dengan semangat memenuhi aturan agar mendapatkan opini WTP, semua instansi semakin ketat menerapkan prosedur, terutama prosedur keuangan. Pertanggungjawaban bahkan disasar sampai pada rincian detail. Berkas pertanggungjawaban terkadang perlu dibuat berlembar-lembar, dan tanpa makna.

Alhasil, terjadi inefisiensi waktu, tenaga, dan sumber daya lainnya. Padahal, gelombang teknologi informasi yang sebenarnya mampu membuat cara bekerja lebih efisien. Bahkan, standar akuntansi pun terlihat tertinggal daripada pesatnya kemajuan teknologi. Pantas Presiden Joko Widodo sempat mengeluh bahwa prestasi PNS hanyalah berhasil mengurus SPJ.

Pemenuhan standar juga menjadikan semua bentuk pelayanan publik menjadi sama. Jenis maupun bentuk pelayanan pubik yang tertuang dalam laporan keuangan hasil audit menjadi seragam di mata standar.

Jika semuanya sama dan seragam, maka fleksibilitas menjadi tergerus. Padahal, fleksibilitas berupa diskresi kadang diperlukan untuk kecepatan pemenuhan pelayanan publik.

Audit sebagai sebuah ritual telah didukung dengan pembentukan mitos akan memproduksi ritual-ritual baru dalam praktik birokrasi. Dalam kapasitasnya sebagai teknik kekuasaan, audit keuangan benar-benar menunjukkan tajinya. Dengan audit, perilaku institusi pemerintah menjadi terbentuk, cenderung mengamankan institusinya dari kesalahan yang kemungkinan mampu dideteksi oleh auditor.

Kini audit keuangan telah menjadi sebuah mekanisme pengawasan yang bersifat panoptikon, pengawasan yang diskontinyu tapi efeknya kontinyu. Sebab, setiap pegawai terutama di bagian keuangan dan administrasi menjadi cenderung menerapkan prosedur ketat terhadap urusan keuangan dan administrasi.

Mereka selalu dihantui oleh kesalahan administrasi dan pemenuhan standar akuntansi hanya untuk mengejar mitos bernama prestasi. Laporan keuangan dengan predikat WTP semestinya bukan barang yang perlu diperjuangkan berlebihan, apalagi dimitoskan menjadi prestasi.

Ibarat membuka warung makan, makanan siap saji sudah semestinya tersaji, tidak perlu diperjuangkan lagi hingga dianggap prestasi. Prestasi seharusnya diukur pada seberapa mampu makanan yang disajikan tadi berdampak pada kesehatan pelanggan yang menikmatinya.

Auditor, terutama auditor BPK, dan kita semua harus berani merombak ritual audit ini, yang seharusnya tidak perlu mencekam. Perlu keberanian bagi instansi yang diaudit untuk terkadang rela dianggap tidak “berprestasi” karena tidak meraih predikat WTP namun tetap memiliki nilai bagi masyarakat.

Selain itu, perlu keberanian dari pemegang otoritas pemerintahan, terutama Presiden, agar tidak lagi melegitimasi mitos opini WTP audit BPK. Yang diperlukan adalah pemerintah menciptakan mitos baru untuk menggeser sekadar ‘budaya kepatuhan’ menjadi ‘budaya kepatutan’ untuk memenuhi pelayanan publik. Dengan demikian, peradaban birokrasi kita mampu bergerak menuju peradaban baru yang lebih bermakna.

(*Komunitas Birokrat Menulis merupakan sebuah pergerakan literasi menulis bagi birokrat kritis yang peduli dengan permasalahan birokrasi. Pergerakan yang dimulai sejak awal tahun 2017 ini beranggotakan para birokrat dari berbagai instansi, baik pusat maupun daerah, beberapa akademisi dan pengamat birokrasi.)

Halaman:
Mutia Rizal
Mutia Rizal
PNS yang sedang menempuh program S3 Administrasi Publik UGM dan pegiat komunitas Birokrat Menulis
Editor: Yura Syahrul

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...