Simalakama New Normal dan Gejolak Seniman Pertunjukan Meresponnya
Perubahan perilaku digital dalam aspek seni pertunjukan berbasis daring diyakini masih jadi persoalan kreatif paling menantang bagi pekerja, penonton dan bahkan tata cipta kelola event. Masih ada ruang penerapan protokol kesehatan yang ketat untuk pelaksanaan yang ada, meski pertaruhannya adalah kenikmatan dalam menyaksikan karya tersebut.
Alih-alih menghibur dan membuat rileks, bisa jadi malah terjebak dalam persoalan atribut protokol kesehatan. Makna ambiguitas menekan “kenikmatan menikmati sebuah seni pertunjukan” karena seni pertunjukan memang bukan semata sebuah transaksi dagang – ada aspek estetika, nilai rasa dan sentuhan dari karakter pertunjukan itu sendiri. Buah simalakama?
Penerapan new normal tentu membuat ada pembatasan pada jumlah kerumunan dan daya tampung suatu venue pertunjukan. Perhitungan rumit terbayang jika pelaku seni pertunjukan berharap pada jumlah tiket yang sebelum pandemi merupakan pasokan kritikal dalam menopang daya hidup kelompok atau industri tersebut. Event seni pertunjukan berskala raksasa oleh performer kelas wahid seperti Ariel Noah, Iwan Fals, Slank, dan AgnezMo tentu akan melibatkan ribuan massa dan berpotensi tidak diizinkan, mengingat sangat berpotensi memicu episentrum kelahiran sarang corona baru.
(Baca: Chatib Basri Peringatkan Persoalan Ekonomi saat Fase Normal Baru)
Kendala pelik juga terkait dengan venue mana yang akan digunakan, karena tentu tidak semua venue dapat digunakan. Perhitungan antara biaya sewa, pemasukan dan tata laksana menjadi atribut yang carut marut dalam operasionalnya. Sponsor dan panitia atau event organizer jelas berpikir ekstra mengingat jumlah massa besar tidak lagi menjadi madu manis dalam meraup pundi-pundi brand awareness suatu brand atau menghasilkan keuntungan.
Bahkan Komunitas Salihara, Galeri Indonesia Kaya dan Titimangsa Foundation memilih untuk menghapus secara selektif karya koleksi seni pertunjukan dari kanal YouTube-nya, dengan prediksi untuk tetap menjaga marwah seni pertunjukan itu sendiri serta hak cipta, bukan lantas berserak hanya menjadi sekedar dokumentasi pada dunia maya.
Era Baru, Solusi Baru
New era dengan berbagai solusinya tetap harus dijalankan oleh para seniman pertunjukan. Perhitungan cermat ruang atau venue yang dapat digunakan tentu bisa dieksplorasi dengan tidak melanggar protokol kesehatan serta tetap meraih keuntungan. Misalnya, venue kecil dengan massa kecil dan karya konser pentas pertunjukan berskala kecil bisa menjadi pilihan alternatif yang layak diupayakan. Siasat memanfaatkan optimal seluruh sarana penjualan daring seperti Instagram, YouTube, serta berbagai online marketplace harus terus dijalankan.
Penjualan karya seni pertunjukan pun harus diutak-atik agar tetap laku dijual dalam versi online, seperti dalam bentuk DVD atau buku. Provider internet dapat membantu meringankan dari sisi biaya akses dalam penyelenggaraan online art event. Tak ada pilihan lain untuk menyambung hidup.
(Baca: 6 Sektor Startup Diincar Investor saat Normal Baru Diterapkan)
Bantuan pemerintah mungkin boleh jadi tetap dapat menjadi salah satu penyangga sementara— namun tentu hal ini tidak dapat diharapkan selamanya. Di beberapa level yang paling mengharukan tak sedikit yang beralih profesi sementara dengan menjual kue, makanan dan barang lainnya.
Totalitas nafas karya seorang seniman pertunjukan sejati tentu akan sangat dipertaruhkan dalam melewati masa darurat pandemi. Seniman handal tak akan pernah kehilangan akal, selalu bergotong raya dan terus berdaya upaya untuk sebuah solusi kebaruan bukan kebuntuan, terus berinovasi menghasilkan karya terbaik adalah harga mati. New Era, New Solution: selamat datang dan teruslah berkarya!
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.