Polemik Buka-Tutup dan Hibridisasi Bioskop Era Adaptasi Kebiasaan Baru

Luki Safriana
Oleh Luki Safriana
1 Agustus 2020, 11:00
Luki Safriana
Ilustrator: Joshua Siringoringo | Katadata
Suasana simulasi pembukaan dan peninjauan tempat hiburan bioskop CGV Cinemas di Bandung Electronic Center (BEC), Bandung, Jawa Barat, Kamis (9/7/2020). Simulasi tersebut dilakukan dalam rangka peninjauan kesiapan tempat hiburan bioskop dalam penerapan protokol kesehatan seperti penggunaan alat pelindung wajah bagi karyawan, pembatas jaga jarak, masker, sarung tangan dan cairan disinfektan seiring tatanan normal baru di tengah pandemi COVID-19.

Sirkulasi jumlah tiket sangat erat kaitannya dengan jumlah penonton, kursi dan banyaknya ruang yang ditawarkan. Karakteristik jam tayang dengan frekuensi tiga sampai lima kali sehari (jeda pergantian tayang pendek), tata ruang yang tertutup rapat dan interaksi sosial menjadi polemik tersendiri di saat pandemi.

Keterbatasan gerak antar penonton juga menjadi sasaran empuk penyebaran virus corona yang diduga dapat menyebar melalui udara. Sebuah kontradiksi dengan kondisi yang demikian bioskop berharap untuk mendapatkan untung dalam jumlah besar.

Dalam webinar yang diadakan oleh Program Studi S1 Event Universitas Prasetiya Mulya dengan tajuk Hybrid Event (20/7/2020), dapat disimpulkan para pelaku usaha dalam bidang pariwisata dan rekreasi (leisure), termasuk bioskop, harus melakukan perubahan dengan cepat dan tepat. Terobosan baru harus dibuat dengan memaksimalkan “ruang maya” sebagai “bioskop”.

Menurut Muhammad Riza, President Director PT Visicita Imaji Semesta, Indonesia memiliki sekurang-kurangnya 80 juta dari sekitar 170 juta pengguna internet nasional. Ini merupakan peluang raksasa yang dapat dikapitalisasi oleh semua sektor industri. 

Ketidaktersediaan bioskop dalam waktu yang cukup lama membuat sebagian besar orang beralih kepada layanan video streaming guna memuaskan hasrat untuk mencari tontonan atau hiburan. Efek tersebut membuat kotak pandora industri basis ini jauh lebih terbuka dan terang.

Dalam skala Asia Tenggara terdapat jumlah penonton yang ditaksir lebih dari 600 juta orang. Adapun pemain mayoritas dalam industri basis ini adalah Netflix, HBO, Viu (Hong Kong), HOOQ (Singapura), iFlix (Malaysia) dan Astro (Malaysia). Bioskop maya memiliki peluang yang sangat besar pada momen ini. Dengan besarnya pasar pengguna internet, maka potensi pendapatan pun akan luar biasa. Bangunan fisik gedung seolah menjadi keniscayaan jika dibandingkan dengan pasar ‘bioskop’ internet.

Kuota internet dengan harga murah serta kualitas streaming yang baik merupakan modal. Banyak kota besar Indonesia telah mencukupi prasyarat tersebut. Bioskop konvensional tidak cukup berpangku tangan mengandalkan jumlah penonton berdasarkan kursi tersedia, tetapi perlu mengambil ancang-ancang termasuk melakukan negosiasi dengan pemerintah terkait regulasi hingga produser film maya. Solusi bisokop drive-in membantu, tetapi tampaknya bukan solusi jangka panjang. Cuaca yang sering berubah serta pola hitungan baru terhadap jumlah kendaraan menjadi tantangan.

Di sisi lain, problema buka tutup bioskop terkait pandemi masih menjadi pil pahit yang harus ditelan. Keamanan dan kenyamanan adalah hal yang mutlak bagi penonton. Persoalan menarik lainnya adalah mayoritas keberadaan bioskop yang menyatu dengan pusat perbelanjaan. Sehingga jumlah pengunjung bioskop sangat berkaitan dengan jumlah pengunjung pusat perbelanjaan.

Sedikitnya pengunjung tentu akan berpengaruh kepada biaya operasional bioskop. Memaksimalkan standar protokol kesehatan, strategi pengaturan kursi dan mesin pendukung lainnya bukanlah solusi. Setidaknya hal ini layak dicoba dan dijalankan dengan perhitungan yang tepat, guna menghidupkan kembali para pekerja yang sempat terdampak akibat pandemi.

Guna mendulang sponsor, CGV kembali beroperasi dengan strategi mengoptimalkan sektor lain yaitu jasa pembuatan video maupun webinar. Namun, hal ini masih dianggap cenderung prematur dan belum digarap secara serius. Kegiatan tersebut tidak masuk pada pokok substansi bisnis bioskop yaitu pemutaran film dan penyediaan ruang nonton.

Dalam kondisi ini, pekerjaan rumah besar menanti GPBSI untuk segera meramu terobosan baru yang lebih hybrid agar model bisnis bioskop lebih tahan banting dalam menghadapi bencana. Persoalan distribusi film dalam konteks offline versus streaming menjadi suatu kenyataan yang tak bisa dielakan. Keberhasilannya akan melindungi pekerjaan karyawan.

Mengacu pada Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, tidak ada salahnya bergotong-royong dengan memanfaatkan jalur internet sebagai potensi daulat gelombang demi kemerdekaan maya. Kementerian Pawisata dan Ekonomi Kreatif bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika perlu berkolaborasi menyambut gayung ini.

Halaman:
Luki Safriana
Luki Safriana
Pengajar Paruh Waktu Prodi S1 Event Universitas Prasetiya Mulya, Mahasiswa Doktoral PSL-IPB University
Editor: Redaksi

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...